FIQH WAKAF
MODUL
PELATIHAN MANAJEMEN WAKAF
Pemberdayaan Wakaf Secara Profesional
FIQH WAKAF
Penyusun
Dr. H. Taufik Abdillah Syukur, Lc., MA
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS PENDIDIKAN DAN KEAGAMAAN
TAHUN 2020
FIQH WAKAF
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS PENDIDIKAN DAN KEAGAMAAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wa wahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan buku ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah menuntun manusia dengan warisan petunjuknya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wakaf adalah salah satu bagian dari sedekah. Wakaf termasuk dalam sedekah jariah yaitu sedekah yang memiliki tujuan memberikan harta untuk kepentingan umat. Harta wakaf tidak boleh dijual, bersifat kekal, tidak boleh diwariskan serta nilainya tidak boleh berkurang. Inti dari wakaf adalah menyerahkan kepemilikan harta seseorang menjadi milik Allah SWT untuk kepentingan umat islam.
Bahasan wakaf banyak dapat kita jumpai dalam litelatur kajian Islam. Berderet kitab, baik dalam bentuk menuskrip maupun kitab yang terekam dalam bentuk tulisan modern telah tersaji, sehingga kita sebagai penikmat dengan leluasa dapat mengkonsumsinya. Dapat dipahami demikian, karena pengkajian terhadap posisi wakaf sendiri memiliki nilai dan kegunaan yang begitu urgen dalam proses dakwah dan kesejahteraan umat.
Buku yang ada dihadapan saudara merupakan modul bahan pembelajaran untuk pelatihan manajemen wakaf pada Program Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Tahun 2020 yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kami mengharapkan agar buku ini mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Kami menyadari, sebagai sebuah modul, buku ini masih membutuhkan penyempurnaan dan pendalaman lebih lanjut.
Akhirnya, hanya kepada-Nya kita semua memohon petunjuk dan pertolongan agar upaya upaya kecil kita bernilai guna bagi peningkatan mutu umat Islam di Indonesia. Amin.
Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jakarta, 15 Juli 2020 M/ 23 Dzulqa’dah 1441H
Penulis
DAFTAR ISI
|
| Kata Pengantar ........................................................................ | i |
|
| Daftar Isi ................................................................................. | ii |
Bab I |
| Pendahuluan ............................................................................ | 1 |
|
| Deskripsi Mata Pelatihan ........................................................ | 1 |
|
| Petunjuk Penggunaan Model .................................................. | 1 |
| | Peta Kompetensi ..................................................................... | 2 |
Bab II |
| Pengertian Wakaf ……………………................................ | 3 |
|
| Landasan Hukum Wakaf......................................................... | 4 |
|
| Hikmah Wakaf ........................................................................ | 7 |
|
| Latihan Kegiatan Belajar ........................................................ | 8 |
|
| Petunjuk Jawaban Latihan ...................................................... | 8 |
|
| Rangkuman ............................................................................. | 8 |
Bab III |
| Rukun Wakaf .......................................................................... | 9 |
|
| Syarat Wakaf ........................................................................... | 9 |
|
| Nadzir Wakaf .......................................................................... | 17 |
|
| Dampak Hukum Setelah Wakaf ............................................. | 19 |
|
| Latihan Kegiatan Belajar ........................................................ | 22 |
|
| Petunjuk Jawaban Latihan....................................................... | 22 |
|
| Rangkuman ............................................................................. | 22 |
Bab IV |
| Fatwa MUI tentang Wakaf ..................................................... | 24 |
|
| Fatwa Tentang Wakaf Uang.................................................... | 26 |
|
| Fatwa Tentang Wakaf Manfaat Asuransi Dan Manfaat Investasi Pada Asuransi Jiwa Syariah ..................................... |
28 |
|
| Fatwa Tentang Status Tanah Yang Di Atasnya Ada Bangunan Masjid .................................................................... |
30 |
Bab V |
| Evaluasi Pembelajaran ............................................................ | 34 |
|
| Kunci Jawaban Evaluasi Pembelajaran ................................. | 40 |
|
| Daftar Pustaka ......................................................................... | 43 |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Mata Pelatihan
Dalam modul ini Anda akan mempelajari pembahasan tentang pengertian wakaf, landasan hukum dan hikmahnya serta rukun, syarat, nadzir serta dampak hukumnya. Modul ini juga diperkaya dengan penjelasan fatwa MUI tentang wakaf.
Adapun tujuan yang diharapkan setelah mempelajari isi modul ini adalah agar Anda mampu menjelaskan kembali fiqh wakaf dan fatwa MUI tentang wakaf.
Indikatornya adalah Anda mampu :
1. Menjelaskan konsep fiqih wakaf
2. Menjelaskan fatwa MUI tentang wakaf
Untuk tujuan tersebut maka Anda akan menemukan pembahasan tentang:
1. Pengertian wakaf
2. Landasan hukum wakaf
3. Hikmah wakaf
4. Rukun wakaf
5. Syarat wakaf
6. Nadzir wakaf
7. Dampak hukum wakaf
8. Fatwa MUI tentang wakaf
9. Soal latihan untuk menguji kemampuan Anda sendiri dalam memahami isi modul.
10. Rangkuman materi yang dibahas dalam modul ini.
11. Metode pengukuran kemampuan Anda dalam mempelajari materi dalam modul ini.
B. Peta Kompetensi
![]() |
C. Petunjuk Penggunaan Modul
Untuk membantu Anda dalam mempelajari modul ini, Anda sebaiknya memperhatikan petunjuk penggunaan modul di bawah ini :
1. Bacalah bagian pendahuluan ini dengan cermat sampai Anda dapat memahami dengan baik tentang materinya, tujuannya, dan cara mempelajari modul ini.
2. Bacalah bagian demi bagian dengan seksama.
3. Temukan kata-kata kunci dan kata-kata yang dianggap baru. Carilah dan baca pengertian kata-kata kunci tersebut dengan menggunakan kamus.
4. Pahamilah pengertian demi pengertian dari modul ini melalui pemahaman sendiri dan tukar pikiran dengan peserta lain atau dengan tutor Anda.
5. Jika pembahasan dalam modul ini masih dianggap kurang, upayakan untuk dapat membaca dan mempelajari sumber-sumber lainnya yang relevan untuk menambah wawasan Anda dan mengadakan perbandingan-perbandingan.
6. Mantapkan pemahaman Anda dengan mengerjakan latihan dalam modul ini dan melalui kegiatan diskusi dalam kegiatan tutorial dengan peserta lain atau teman sejawat.
7. Jangan lewatkan untuk mencoba menjawab soal-soal yang dituliskan pada akhir modul ini. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah Anda sudah memahami dengan benar kandungan modul.
BAB II
PENGERTIAN, LANDASAN HUKUM DAN HIKMAH WAKAF
Kompetensi Mata Pelatihan : Menjelaskan kembali fiqh wakaf dan fatwa MUI tentang wakaf |
Indikator Pencapaian Kompetensi : Menjelaskan pengertian, landasan hukum dan hikmah wakaf |
A. Pengertian Wakaf
Dalam bahasa Arab terdapat tiga kata-kata yang mempunyai makna yang sama, yaitu, الوقف، التحبيس danالتسبيل Semuanya berarti menahan.[1] Rasulullah Saw menggunakan kata-kata التحبيس danالتسبيل dalam hadisnya tentang wakaf. Mayoritas ahli fiqh merumuskan pengetian wakaf menurut syara’ adalah: [2]
حَبْسُ مَال يُمكن الإِنْتِفَاع بِه مَعَ بَقَاء عَيْنه بِقطع التّصرف فيِ رقبته عَلى مصرف مُبَاح مَوْجُود
Artinya: “Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan, tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya, disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada”.[3]
Pengertian wakaf di atas mengemukakan beberapa ciri khas wakaf, yaitu: (1) Penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek yang dimilikkan. Penahanan berarti ada yang menahan yaitu Wakif dan tujuannya yaitu mauquf ‘alaihi (penerima wakaf). (2) Harta, menjelaskan bahwa yang diwakafkan adalah harta. (3) Yang mungkin dimanfaatkan, tanpa lenyap bendanya, menjelaskan syarat harta yang diwakafkan. (4) Dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya, menjelaskan bahwa harta wakaf tidak dijual, dihibahkan dan diwariskan. (5) Disalurkan kepada yang mubah dan ada, menjelaskan bahwa hasil wakaf itu disalurkan kepada yang tidak dilarang oleh Islam. Sedangkan, menyalurkannya kepada yang haram adalah haram.
Dalam makna yang sama, para fuqaha memahaminya bahwa wakaf:
تَحبِيْس الأَصْل وَتسبيل المنْفَعَة
Artinya: “Menahan Asalnya dan menyalurkan manfaatnya”.[4]
Dari dua definisi di atas, para fuqaha silang pendapat tentang kepemilikan barang yang telah diwakafkan tersebut, apakah mauquf tersebut tetap milik wakif, atau berpindah tangan kepada mauquf alaih, atau justru menjadi milik Allah Swt. Ulama Syafi’iyah dan pengikut dari Abu Hanifah berpendapat bahwa harta wakaf tersebut menjadi milik Allah Swt. Imam Abu Hanifah dan madzhab Malikiyah, harta wakaf adalah tetap milik waqif. Sedangkan, madzhab Hanbali, harta wakaf milik mauquf alaih.
Waqaf menurut Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr adalah:
يُمْكِن الإِنْتِفَاع بِه مَعَ بَقَاء عَيْنِه مَمنوع مِن التَّصَرّف فِي عَيْنه حَبس مَال تَصرف مَنَافعه فِي البر تَقَرُّبًا إِلى الله تَعَالى
Artinya: “Dengan wakaf dimungkinkan adanya pengambilan manfaat beserta menahan dan menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.[5]
Adapun wakaf menurut Sayyid Sabiq adalah :
حَبْسُ الأَصْل وَ تَسبيل الثمرة أَى حَبْس المالِ وَ صرف مَنَافِعه في سَبِيْل الله
Artinya: “Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya dijalan Allah”[6]
Dari dua pendapat ini bahwa kalau dilihat dari perbuatan orang yang mewakafkan, wakaf ialah suatu perbuatan hukum dari seseorang yang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan di jalan Allah atau dalam jalan kebaikan.
Sehingga dapat disimpulan wakaf ialah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
B. Landasan Hukum Wakaf
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf adalah mubah. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum wakaf adalah sunnah (mustahab)[7], yaitu:
مَا يُثَابُ عَلى فِعْلِه وَلَا يُعَاقَبُ عَلى تَرْكِه
Artinya: “Suatu perbuatan yang diberi pahala bagi pelakunya, tetapi tidak dijatuhi sanksi bagi yang meninggalkannya”.[8]
Landasan hukum wakaf antara lain :
1. Al Quran
Sebagaimana firman Allah Swt :
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92).
Shahabat Abu Thalhah saat mendengar ayat tersebut bergegas mewakafkan ‘Bairaha’ (بيرحاء), kebun kurma miliknya yang paling ia sukai. Nabi pun mengapresiasi apa yang dilakukan Abu Thalhah, hingga beliau bersabda:
بخْ أبا طَلْحَة ذلِك مَال رَابِح
Artinya: “Bagus sekali wahai Abu Talhah, itu adalah harta (investasi) yang menguntungkan (di akhirat)” (HR al-Bukhari).
Allah Swt juga berfirman :
وَمَا يَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡر فَلَن يُكۡفَرُوهُۗ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِٱلۡمُتَّقِينَ
Artinya: “Kebaikan yang mereka kerjakan, tidak akan mereka ingkari. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 115).
Kata خَيْر (kebaikan) dalam ayat ini meliputi semua kebaikan yang diantaranya adalah wakaf.
2. Sunnah
Rasulullah Saw bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Artinya: “Ketika anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR Muslim).
Para ulama menafsirkan kata صَدَقَة جَارِيَة dengan wakaf. Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita bahwa berwakaf bukan hanya seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf itu sendiri, karena ganjaran wakaf itu terus menerus mengalir selama barang wakaf itu masih berguna. Juga terhadap masyarakat,dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan. Lihatlah negeri-negeri Islam zaman dulu karena adanya wakaf, umat Islam dapat maju bahkan sampai sekarang telah beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf mereka itu masih juga kekal. Kita di zaman serba tercecer ini masih dapat merasakan manis dan lezatnya hasil wakaf mereka dahulu itu. Bahkan hasil wakaf nenek moyang kita dahulu itu ada pula yang dapat terus-menerus menghambat kemunduran. Maka kalau sekiranya muslimin yang kaya sekarang sanggup mewakafkan harta mereka seperti orang-orang Islam dahulu, kita percaya bahwa mereka telah membuka satu jalan untuk kemajuan pembangunan dan beberapa tahun kemudian anak cucu kita akan memetik buahnya yang lezat.[9]
Dalam hadits yang lain dijelaskan:
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ(
Artinya: Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, "Umar menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi disedekahkan hasilnya.
Hadis di atas dapat dipetik beberapa ketentuan, sebagai berikut: (1) Harta wakaf harus tetap, tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dijual, dihibahkan maupun diwariskan. (2) Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya. (3) Tujuan wakaf harus jelas dan baik menurut ajaran Islam. (4) Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengelola yang memiliki hak ikut serta dalam harta wakaf . (5) Harta wakaf dapat berupa tanah atau yang benda lainnya yang tahan lama dan tidak musnah dalam sekali digunakan.
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa sahabat Umar yang pertama mengamalkan wakaf. Namun, ada pendapat lain bahwa Rasulullah Saw sendiri yang pertama berwakaf. Yaitu ketika Nabi membangun masjid Nabawi yang terletak di samping rumah beliau.
Setelah Nabi menganjurkan wakaf, para shahabat serentak mewakafkan harta bendanya. Wakaf menjadi ibadah populer dikalangan shahabat kala itu. Hingga shahabat Jabi menuturkan bahwa tidak ada shahabat yang memiliki kemampuan financial keculai mereka mewakafkan hartanya. Bahkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa ada 80 shahabat Anshar yang berwakaf. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fiqih al-Manhaji sebagai berikut:
وَقَد اشْتَهر الوَقف بَيْن الصَّحَابة وَانتشر حَتّى قَالَ جَابِر رَضِي الله عَنْه: مَا بَقِى أحد مِنْ أَصْحَاب رَسول الله - صَلى الله عَلَيْه وَسَلّم - له مقدرة إِلَّا وقف. وَقَالَ الشَّافِعِي رحمهُ الله تعالى: بلغني أن ثَمَانِيْن صَحَابِياً مِن الأَنْصَار تَصَدَّقُوا بِصَدقات محرمات. وَالشَّافِعي رحمهُ الله يطلق هَذا التَّعْبِيْر (صدقات محرمات) عَلى الوَقْفِ.
Artinya: “Dan telah masyhur berwakaf di antara sahabat dan menyeluruh, sehingga sahabat Jabir berkata; tidaklah tersisa dari para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (finansial) kecuali mewakafkan hartanya. Al-Imam al-Syafi’i berkata; telah sampai kepadaku bahwa 80 sahabat dari Anshar bersedekah dengan sedekah yang diharamkan (dijual dan dihibahkan). Al-Syafi’i mengucapkan redaksi ‘sedekah yang diharamkan’ ini untuk arti wakaf.”[10]
C. Hikmah Wakaf
Wakaf bukan sekadar mengumpulkan harta sumbangan, tetapi mengandung banyak segi positif bagi umat manusia. Hikmah wakaf antara lain:
1. Menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat.
2. Pembinaan hubungan kasih sayang antara Wakif dengan dengan anggota masyarakat. Allah Swt berfirman:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيم
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran: 92)
3. Keuntungan moril bagi Waqif, yaitu kucuran pahala, secara terus menerus selama wakafnya dimanfaatkan penerima wakaf.
4. Sumber pengadaan sarana ibadat, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya untuk masa yang lama. Karena:
a. Harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Tujuan larangan ini adalah untuk mencegah pembahan status harta wakaf dari milik umum menjadi milik pribadi. Sehingga wakaf akan tetap menjadi sumber dana bagi ma syarakat secara umum.
b. Disalurkan kepada pihak-pihak yang akan dapat menikmati harta wakaf selama mungkin.
5. Sumber dana produktif (banyak mendatangkan hasil) untuk masa yang lama.
Jelaslah bahwa wakaf yang mengandung tujuan positif di dunia dan di akhirat, apabila dilaksanakan dan dikelola secara baik, maka akan memberikan sumbangsih tidak sedikit dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
Latihan Kegiatan Belajar
Guna memantapkan penguasaan Anda terhadap materi pada bab II ini, lakukanlah berbagai kegiatan sebagai berikut :
1. Apa pengertian wakaf!
2. Apa hukum wakaf!
3. Sebutkan landasan hukum wakaf!
4. Sebutkan hikmah wakaf!
Petunjuk Jawaban Latihan
1. Coba Anda lihat kembali materi yang berkaiatan dengan pengertian wakaf.
2. Pelajari kembali tentang hukum wakaf.
3. Landasan hukum wakaf berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.
4. Lihatlah pembahasan yang berkaitan dengan hikmah wakaf.
Rangkuman
Berdasarkan uraian modul di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan berikut :
1. Wakaf ialah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum wakaf adalah sunnah (mustahab).
3. Landasan hukum waqaf berdasarkan al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 92 dan 115 dan hadits Umar bin Khaththab yang mewakafkan pepohonan di Khaibar.
4. Hikwah wakaf adalah kepedulian terhadap masyarakat, membina hubungan kasih sayang, keuntungan moril bagi waqif, sumber pengadaan sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sumber dana produktif.
BAB III
RUKUN, SYARAT, NADZIR DAN DAMPAK HUKUM WAKAF
Kompetensi Mata Pelatihan : Menjelaskan kembali fiqh wakaf dan fatwa MUI tentang wakaf |
Indikator Pencapaian Kompetensi : Menjelaskan rukun, syarat, nadzir dan dampak hukum wakaf |
A. Rukun Wakaf
Rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Pemberi wakaf (وَاقِفٌ)
2. Yang diwakafkan (مَوْقُوْفٌ)
3. Yang diberi wakaf (مَوْقُوْفٌ عَلَيْه)
4. Pernyataan pemberian wakaf dan penerimaannya (صِيْغَةٌ).
B. Syarat Wakaf
Empat rukun wakaf diatas memiliki beberapa syarat, antara lain:
1. Pemberi wakaf ( وَاقِفٌ)
Wakaf dari seorang waqif (pemberi wakaf) dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Kehendak sendiri (Ikhtiyar), tidak sah karena dipaksa.
b. Mampu berderma (Ahliyatu at-Tabarru). Wakaf dari seorang yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi karena safih dan muflis (pailit) menjadi tidak sah. Mereka dilarang membelanjakan hartanya sehingga derma yang mereka lakukan tidak sah. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰما
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisa : 5).
Kata as-sufaha’ (ٱلسُّفَهَآءَ) merupakan bentuk plural dari kata safiih (سفيه). Adapun yang dimaksud di sini adalah orang yang belum mampu membelanjakan hartanya dengan baik. Imam Syafi’i memaknai kata safih sebagai orang yang suka membelanjakan kekayaannya untuk perkara-perkara yang diharamkan. Di dalam hadits disebutkan:
وَعَنِ اِبْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ مَالَهُ, وَبَاعَهُ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw pernah menahan harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya (HR. Daruquthni).
Pernyataannya sah (Sihhah ‘Ibarah). Waqif harus orang baligh, berakal dan merdeka (bukan budak). Seorang budak tidak dapat disahkan wakafnya karena dia tidak memiliki hak milik. karena diri dan hartanya dimiliki oleh majikannya. Tidak sah pula wakafnya anak kecil dan orang gila, walaupun wakafnya melalui persetujuan wali mereka. Wali pun tidak berhak mendermakan sedikit pun dari harta mereka.[11]
Orang yang sakit parah yang sudah mendekati ajal tidak boleh mewakafkan hartanya lebih dari sepertiga (1/3), untuk menjaga hak ahli waris dari harta warisannya. Jika kurang dari sepertiga (1/3) maka diperbolehkan demi kemashlahatan dirinya agar mendapatkan pahala setelah meninggal dunia. Sebagaimana hadits berikut ini:
وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ
Artinya: “Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya: Apakah aku menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya lagi: Apakah aku sedekahkan sepertiganya? Beliau menjawab: "Ya, sepertiga, da sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakit meminta-minta kepada orang" (HR. Bukhari Muslim).
Wakafnya orang kafir menurut ulama Syafi’iyah dianggap sah meskipun wakaf itu untuk masjid. Orang kafir akan mendapatkan balasan di dunia atas wakaf, sedekah dan nafkahnya, sedangkan di akhirat dia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi kebaikan orang mu`min yang diberikan didunia dan akan dibalas diakhirat, sedangkan orang kafir diberi makan karena kebaikan-kebaikan yang dikerjakan karena Allah didunia hingga ia menuju akhirat tanpa memiliki suatu kebaikan pun yang bisa dibalas." (HR. Muslim)
2. Barang yang diwakafkan (مَوْقُوْفٌ )
Adapun syarat mauquf sebagai berikut:
a. Barang yang diwakafkan harus jelas. Tidak sah hanya mewakafkan manfaat barang, sementara barangnya tidak di wakafkan. Seperti mewakafkan penggunaan (manfaat) rumah selama satu tahun atau selama-lamanya, maka hal ini tidak sah.[12] Benda yang diwakafkan juga harus ditentukan. Tidak sah pernyataan ‘saya mewakafkan salah satu dari rumah saya’.
b. Barang yang diwakafkan harus merupakan milik waqif yang berguna dan bisa dimanfaatkan. Tidak sah seseorang mewakafkan barang yang bukan miliknya. Karena dalam wakaf terdapat perpindahan hak milik suatu benda dari sang pemilik. Bagaimana mungkin memindahkan kepemilikan terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya. Tidak sah pula mewakafkan apa yang ada di kandungan hewan, tanpa disertai induknya. Hal ini disebabkan karena kandungan tidak bisa berpindah kepemilikannya selama masih dalam kandungan induknya. Boleh mewakafkan kandungan hewan ketika induknya juga diwakafkan, karena kandungan ikut induknya. Adapun budak secara fisik ia adalah manusia, tetapi ia sama seperti benda yang bisa menjadi miliki orang lain, maka budak bisa diwakafkan. Berbeda dengan manusia merdeka, ia tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga, maka mewakafkan orang merdeka baik seseorang mewakafkan dirinya sendiri untuk agama atau untuk apa pun juga maka hukum wakafnya tidak sah. Efek dari ketidakabsahan itu, orang yang terlanjur berikrar mewakafkan dirinya atau bahkan anaknya dan anggota keluarga yang lain, tidak ada konskuensi hukumnya karena ikrar wakafnya tidak mendapat legalitas syara’.
فَلَا يَصح وقف حر نَفسه لِأَن ذَاته غير مَمْلُوكَة لَهُ
Artinya: “Maka tidak sah wakafnya orang merdeka dengan mewakafkan dirinya sendiri. Karena pribadinya tidak bisa dimiliki oleh siapa pun.” [13]
Kemudian barang yang hendak diwakafkan itu harus memiliki nilai manfaat yang bisa diharapkan dan mempunyai kegunaan yang jelas. Sehingga jika ada orang yang mewakafkan pakaian robek yang sudah tidak bisa digunakan sama sekali maka wakafnya menjadi tidak sah. Karena tujuan wakaf adalah untuk mendapatkan manfaat dari barang barang yang diwakafkan.[14]
c. Manfaat barang yang diwakafkan harus awet atau tahan lama. Tidak diperbolehkan wakaf makanan atau sabun yang tidak dapat diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya. Yang dimaksud awet disini adalah barang yang diwakafkan dapat bertahan dalam tenggang waktu yang sah untuk disewakan sehingga manfaat barang tersebut dapat diganti dengan upah. Bila ada seorang mewakafkan mobil atau hewan maka wakafnya sah, walaupun mobil tidak akan selalu bermanfaat selamanya karena kemungkinan akan rusak, begitu juga dengan hewan. Kemudian mauquf tidak mesti harus memberikan manfaat saat itu juga, bisa juga tidak bisa memberi manfaat saat ini tapi bisa memberi manfaat dikemudia hari, seperti mewakafkan hewan yang masih bayi dinyatakan sah wakafnya karena hewan tersebut bisa dimanfaatkan kemudian hari.[15]
d. Manfaat barang yang diwakafkan harus manfaat yang ‘mubah’ (boleh) bukan yang diharamkan seperti alat musik dan sejenisnya.
Kemudian diperbolehkan mewakafkan benda yang tidak bergerak, seperti: tanah, tempat dagang, sumur dan mata air. Bagaimanapun juga bentuk semua ini dapat diwakafkan selama dapat dimanfaatkan. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’i bahwa delapan puluh shahabat Anshar berwakaf dan kebanyakan mereka mewakafkan tanah, rumah dan sumur.[16] Begitu juga diperbolehkan mewakafkan benda yang bergerak, seperti: hewan, mobil, peralatan perang, pakaian, tikar, tempat barang dan buku-buku yang bermanfaat. Rasulullah Saw bersabda:
من احْتَبَسَ فرسًا في سبيل الله إيمانًا بالله وتصديقًا بوعده فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَه في ميزانه يوم القيامة
Artinya: “Siapa menyiapkan seekor kuda di jalan Allah karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makannya, minumnya, kotorannya dan kencingnya menjadi timbangan amal orang tersebut pada hari kiamat."(HR. Bukhari dan Nasa’i)
Hadis ini menginformasikan bahwa orang yang mewakafkan seekor kuda untuk jihad di jalan Allah dan mencari keridaan-Nya agar para pejuang bisa berperang di atasnya demi mencari keridaan-Nya, membenarkan janji-Nya yang telah dimaklumkan dalam firman-Nya, "Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu", maka Allah memberinya pahala dari segala yang dimakan kuda itu, yang diminumnya, yang dikeluarkannya berupa kencing atau kotoran, sehingga semua itu diletakkan untuknya di timbangan kebaikan-kebaikannya pada hari kiamat. Dari Tamīm Ad-Dāri bahwa Nabi Saw bersabda, "Siapa mengikat kuda di jalan Allah, lalu ia mencari pakannya, maka baginya kebaikan dari setiap biji." (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah Saw juga bersabda:
قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya: “Dia (Khalid bin Walid) telah mewakafkan baju-baju perang dan peralatan perang lainnya di jalan Allah Swt.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian, harta campuran (المُشَاعُ) yaitu harta yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang tidak bisa dibedakan atau dipisahkan satu sama lainnya, sah juga untuk diwakafkan. Baik berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw:
عَن ابن عُمر قال : قال عُمَر للنّبي صَلى الله عَليه وَسَلَّم : إِنَّ المِائَة السَّهم الَّتي لِي بِخَيْبَر لَمْ أصب مَالًا قط أعجبَ إِلَيَّ مِنْهَا قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أتصدقَ بِهَا فقال النبي صَلى الله عَليه وَسَلم : احبسْ أَصْلَهَا وَسَبِّل ثَمَرَتَهَا
Artinya: Dari Ibnu Umar berkata bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata kepada Nabi Muhammad Saw : Sesungguhnya seratus bagian milikku yang ada di khaibar belum pernah mendapatkan hasil. Aku heran. Aku berkeinginan untuk mensedekahkannya. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “tahanlah pokoknya dan berikanlah buahnya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
3. Penerima wakaf ( مَوْقُوْفٌ عَلَيْه)
Penerima wakaf dibagi menjadi dua: 1) orang tertentu (مُعَيَّن) yang berjumlah satu atau lebih, 2) orang yang tidak tertentu (غَيْر مُعَيَّن), seperti wakaf kepada kaum fakir. Syarat-syarat mauquf alaih sebagai berikut :
a. Tujuan wakaf harus untuk ibadah bukan untuk maksiat, maka tidak boleh mewakafkan sesuatu kepada penyembah berhala dan pedang kepada perampok, karena hal itu akan membantu kemaksiatan mereka. Adapun wakaf kepada fakir miskin, masjid, sekolah, rumah sakit, kain kafan dan lainnya ini diperbolehkan karena merupan ibadah yang sangat dianjurkan oleh agama Islam.
b. Harus dinyatakan secara tegas kepada siapa ditujukan wakaf itu pada saat mengikrar wakaf. Jika perima wakafnya adalah orang tertentu (مُعَيَّن) maka penerima wakaf itu bisa langsung memiliki barang wakaf tersebut. Maka dari itu disyaratkan keberadaan pihak penerima saat itu. Maka tidak sah jika si waqif akan mewakafkan sesuatu kepada anaknya, padahal saat itu ia belum memiliki anak. Begitu juga tidak sah wakaf kepada anak yang masih dalam kandungan (الجَنِيْن), mayat (المَيّت), budak (العَبْدُ), hewan (البَهِيْمَة), atau kepada diri sendiri (نفسُ الوَاقِفِ).
Wakaf kepada non-Muslim diperbolehkan oleh ulama madzhab Syafi’iyah kepada kafir dzimmi[17] dan wakaf itu tidak diperuntukkan untuk perbuatan maksiat. Sebagaimana diperbolehkan memberikan sedekah kepada kafir dzimmi maka wakaf pun diperbolehkan untuk mereka. Akan tetapi jika wakaf itu diperuntukkan untuk melakukan kemaksiatan seperti mewakafkan sapu kepada tukang sapu gereja agar ia bisa membersihkan gereja maka itu tidak diperbolehkan. Hukum wakaf kepada kafir mu’ahad[18] dan musta’min[19], sama dengan kafir dzimmi selama masih dalam negara Islam dan mereka menjalankan perjanjiannya.
Adapun wakaf kepada kafir harbi[20] dan murtad[21] tidak sah. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ
Artinya : Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan (hisab) mereka ada pada (sisi) Allah ta’ala (HR. Bukhari dan Muslim)[22]
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Artinya: ”Siapa yang mengganti agamanya (murtad), bunuhlah dia.” (HR. Bukhari).
Wakaf kepada orang kaya diperbolehkan karena sedekah kepada mereka juga diperbolehkan sehingga wakaf kepada mereka pun diperbolehkan selagi tidak diperuntukkan untuk maksiat kepada Allah Swt.
Jika ada orang mewakafkan sebuah rumah dan mengatakan ‘Aku wakafkan rumah ini agar hasilnya dinikmati orang fakir’, maka siapa orang fakir yang termasuk dalam perkataan itu?. Para ulama menetapkan bahwa fakir dalam masalah wakaf itu sama dengan fakir dalam masalah zakat. Oleh karena itu, seseorang yang sah menerima zakat karena kefakirannya, maka ia menerima wakaf juga, dan seseorang yang tidak sah menerima zakat, maka tidak sah memberikan wakaf kepadanya.
Jika waqif mengatakan ‘aku wakafkan tanahku agar hasilnya untuk kebaikan (سبيل البر أو الخير) atau mendapat pahala (الثواب)’, maka siapakah yang berhak menerima hasil dari barang yang diwakafkan itu?. Jawabannya adalah bahwa orang yang berhak mendapatkan hasil dari barang yang diwakafkan hanya kerabat dekat orang yang mewakafkan (أقرباء الواقف). Jika tidak memiliki kerabat dekat, maka yang berhak mendapatkannya adalah orang-oang yang berhak mendapatkan zakat kecuali amil dan orang-orang mualaf.
Jika waqif mengucapkan wakaf untuk ‘jalan Allah’ (سبيل الله), maka hasil dari harta yang diwakafkan hanya diperuntukkan bagi para pasukan perang yang merupakan golongan yang mendapatkan zakat.
Apabila dalam wakafnya ia menggabungkan tujuannya untuk jalan Allah, jalan kebaikan dan jalan untuk mendapatkan pahala, maka sepertiga dari wakaf diperuntukkan bagi para pasukan perang, sepertiga untuk para kerabat pewakaf dan yang sepertiganya untuk oang-oang yang berhak menerima zakat di luar amil dan muallaf.
4. Shigat wakaf ( صِيْغَةٌ )
Shigat adalah lafadz yang mengisyaratkan tujuan atau dengan sesuatu yang bisa menggantikan lafadz seperti isyarat atau tulisan bagi tunawicara. Kalau mewakafkan kepada orang tertentu (مُعَيَّن), hendaklah ada kabul (jawab), tetapi wakaf orang yang tidak tertentu (غَيْر مُعَيَّن) atau umum maka tidak disyaratkan kabul (jawab).
Shigat terbagi menjadi dua:
a. Sharih (jelas). Yaitu kalimat yang hanya mempunyai satu arti. Misalnya : ‘Aku wakafkan rumahku untuk orang-orang fakir’, atau ‘rumah ini diwakafkan kepada orang-orang fakir’. Kata-kata ’jelas’ yang menunjukkan pada apa yang dikehendaki seperti ini tidak membutuhkan niat terhadap ke-sah-an wakaf.
b. Kinayah (kiasan). Yaitu kata yang bisa mengandung arti lain. Misalnya: ‘Aku sedekah-kan hartaku kepada orang fakir’, ‘Aku menahan-nya untuk orang-orang fakir’, ‘Aku membekukan-nya untuk mereka’ dan seterusnya. Dalam bentuk kinayah ini harus ada niat dari waqif .
Lafadz wakaf baik sharih maupun kinayah memliki beberapa syarat:
a. Harus berupa ucapan lisan dari orang yang bisa bicara atau isyarat atau tulisan bagi tunawicara.
b. Bentuk kalimat (shigah) tidak dibatasi oleh waktu (خالية من التوقيت). Ketika seseorang mengatakan, ‘Aku wakafkan tanah milikku bagi para siswa selama satu tahun’, maka wakafnya batal dikarenakan bentuk kalimatnya tidak sah disebabkan ada batasan waktu. Karena wakaf itu harus selama-lamanya.
c. Alokasi wakaf harus jelas (بيان مصرف الوقف). Apabila seseorang berkata : ‘Aku wakafkan’ atau ‘Aku menyerahkan ini’, tanpa menjelaskan akan dialokasikan ke mana, maka wakafnya menjadi tidak sah karena tidak diketahui ke mana wakafnya akan dialokasikan.
d. Tanpa menggantungkan (عدم التعليق). Karena wakaf adalah akad yang menuntut adanya kepemilikian seketika sehingga tidak sah menggantungkannya dengan ‘syarat’. Ketika seorang berkata, ‘Aku wakafkan rumahku ini kepada orang-orang fakir jika ‘Ahmad’ telah datang’, ‘Aku wakafkan mobilku untuk orang-orang miskin jika ‘istriku’ menyetujuinya’, maka wakafnya batal.
e. Kepastian (الإلزام). Tidak sah adanya khiyar (pertimbangan) dalam wakaf. Ketika seseorang mengatakan, ‘Aku wakafkan hewanku dan aku akan mempertimbangkan (khiyar) selama tiga hari atau aka boleh menjualnya ketika akau menghendakinya’, maka wakafnya batal.
Manakala wakafnya kepada orang tertentu (مُعَيَّن), semisal mewakafkan rumah kepada Khalid, maka untuk ke-sah-an wakaf disyaratkan penerima wakaf tertentu (مُعَيَّن) tadi harus menerimanya. Penerimaan ini harus bersambung dengan penyerahan yang dilakukan oleh orang yang mewakafkan. misalnya, orang yang mewakafkan berkata, ‘Aku wakafkan rumah ini kepada Khalid’, ketika Khalid menerima wakaf tersebut, maka wakafnya sah. Jika si Khalid menolaknya, maka wakaf itu tidak sah. Adapun jika wakafnya kepada individu yang tidak tertentu, semisal wakaf kepada orang fakir atau masjid, maka tidak disyaratkan menerima (qabul) untuk kesahan wakaf tersebut karena adanya kesulitan.
Seseorang tidak boleh wakaf untuk dirinya sendiri karena wakaf adalah menyerahkan hak milik suatu benda yang diwakafkan sekaligus menyerahkan manfaat benda itu juga kepada yang lain. Akan tetapi, jika seseorang mewakafkan masjid, lahan perkuburan, atau sumur, maka ia boleh juga mengambil manfaatnya seperti kaum muslimin yang lain. Ia diperbolehkan malaksanakan shalat di masjid, minum dari air sumur, dan dikubur dipekarangan yang telah diwakafkannya itu. Hal ini berdasarkan hadits Utsman bin ‘Affan ra. Ketika Nabi saw datang di kota Madinah dan tidak menjumpai sumber air yang enak rasanya selain air sumur ‘Ruumah’. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي
Artinya: “Barangsiapa yang mau membeli sumur ‘Rumah’ kemudian dia menjadikan embernya (timba) bersama ember kaum muslimin, maka dia akan mendapat balasan lebih baik dari sumur itu di surga. Utsman berkata, “Aku pun membelinya dari harta pribadiku” (HR Nasai dan Tirmidzi).
Sumur ‘Ruumah’ adalah sumur milik yahudi Madinah yang akhirnya dijual kepada orang Islam. Satu ember (timba/bejana) dijual satu dirham. Kemudian Utsman bin Affan membelinya dan mewakafkannya kepada orang Islam. Ia juga meminum air dari sumur itu seperti yang lain
Wakaf yang jelas sahnya yaitu kepada orang yang telah ada dan terus menerus tidak putus–putusnya. Adapun beberapa macam wakaf yang dijelaskan dibawah ini adalah wakaf yang menjadi perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tidaknya:
1. Putus awalnya (مُنْقًطِعُ الأَوَّل), seperti kata seorang, ”saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir miskin,” sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak dapat diberikan sekarang.
2. Putus di tengah (مُنْقًطِعُ الوَسط), umpamanya seseorang berkata, “Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin,’ wakaf ini sah, diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan yang ketiga.
3. Putus akhirnya (مُنْقًطِعُ الأخير), umpamanya dia berkata, “saya wakafkan ini kepada beberapa anak A,” dengan tidak diterangkan kepada siapa. Wakaf semacam ini sah juga menurut pendapat yang mu’tamad, sesudah habis anak dari A. Sebagian ulama berpendapat bahwa hasil wakaf diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang yang berwakaf, karena sedekah kepada famili lebih utama. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
إنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Artinya: “Shadaqah pada orang miskin mendapatkan (pahala) shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni (pahala) shadaqah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan” (HR. An-Nasa’i).
Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat di berikan kepada fakir miskin.[23]
C. Nadzir Waqaf
Harus ada pengelola wakaf (نَاظِرُ الوَقْفِ) yang mengurusi, bertanggung jawab, menjaga dan menggunakannya sesuai dengan permintaan pewakaf. Beberapa hal dibawah ini adalah pembahasan yang terkait dengan pengelola wakaf, sebagai berikut:
1. Yang paling berhak menjadi pengelola wakaf
Orang yang paling berhak mengelola barang wakaf adalah orang yang ditunjuk oleh pewakaf. Jika pewakaf menyerahkan pengelolaannya kepada satu orang atau lebih maka permintaannya harus dipenuhi. Jika pewakaf meminta agar barang wakafnya dikelola oleh si A dan jika si A meninggal maka beralih ke si B, maka permintaannya juga harus dipenuhi.
وَقَدْ كَانَ عُمَر رَضِى الله عَنْهُ يلي أمر صَدقته ثُمَّ جَعَلَه لِحَفْصَة بنته رَضِي الله عَنْهَا تليه مَا عَاشَتْ ثُمَّ يليه أوْلوا الرَّأيِ مِنْ أَهْلِهَا
Artinya: ‘Umar mengawasi barang yang telah diwakafkannya. Kemudian menyerahkannya kepada Hafsah, putrinya, selama hidupnya. Selanjutnya diurusi oleh orang-orang yang pintar dari keluarga’ (HR. Abu Dawud).
Apabila pewakaf tidak meminta satu orangpun untuk mengawasi dan mengelola wakafnya, maka pengawasan dan pengelolaan berada di bahwa kekuasaan hakim (pemimpin), karena dia merupakan pengawas masyarakat secara umum.[24]
2. Syarat menjadi pengelola wakaf
Syarat menjadi pengelola wakaf sebagai berikut :
a. Adil. Yakni konsisten ( اسْتِقَامَة) dalam menjalankan perintah-perintah agama.
b. Mampu. Pengelola wakaf harus memiliki kemampuan untuk mengalokasikan barang wakaf kepada hal-hal yang positif dan mashlahat. Hakim (pemimpin) boleh memecat pengelola wakaf apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi.
3. Tugas Pengelola wakaf
Tugas pengelola wakaf sebagai berikut:
a. Mengatur barang wakaf seperti membangun, menyewakan, mengelola, mengawasi, dan membaginya kepada orang yang berhak menerimanya.
b. Jika pewakaf mensyaratkan pengelolaannya kepada dua orang, maka salah satu dari mereka tidak boleh mengatur kebijakan sendirian, kecuali sudah ditetapkan oleh pewakaf sebelumnya.
4. Gaji Pengelola Wakaf
Pengelola wakaf bisa mendapatkan gaji yang diambil dari barang wakaf, jika pewakaf mensyaratkan sebelumnya. Jika pewakaf tidak mensyaratkan (menyebut) gaji untuk pengelola maka ia tidak mendapatkan gaji. Seandainya pengelola wakaf menuntut gaji, maka hakim boleh menentukan gaji secara proposional. Kebijakan itu dikeluarkan jika tidak ada yang mau menjadi pengelola wakaf tanpa digaji. Pengelola juga boleh memakan sekedarnya saja buah-buahan dari pohon wakaf dan lain sebagainya.
5. Persengketaan Pengelola dan Penerima Wakaf
Manakala pengelola wakaf mengaku bahwa hasil wakaf telah diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, tetapi para penerima wakaf mengingkarinya, maka yang dibenarkan adalah penerima wakaf.
Jika orang yang mendapat wakat golongan yang tidak tertentu (غير معين) seperti fakir miskin, maka hakim boleh meminta jumlahnya dan memberikan sesuatu yang menjadi standar kebutuhan hidup mereka.
6. Pemecatan Pengelola Wakaf
Pengelola wakaf dapat dinonaktifkan jika tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi pengelola wakaf. Pewakaf bisa memecatnya dan boleh menunjuk orang lagi untuk menggantikannya. [25]
D. Dampak Hukum Setelah Wakaf
Wakaf termasuk aqdun laazimun (عَقْدٌ لَازِمٌ) yaitu akad yang tidak boleh dibatalkan, berbeda dengan akad wasiat yang merupakan aqdun jaaizun (عَقْدٌ جَائِزٌ) yaitu akad yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan.
Maka dari itu ada beberapa pembahasan terkait dengan dampak hukum setelah wakaf sebagai berikut:
1. Status hak milik dan manfaat barang wakaf
Akad wakaf berimplikasi pada hukum-hukum sebagai berikut:
a. Jika telah sah akad wakaf, maka tidak ada ‘khiyar’ (pilihan meneruskan atau membatalkan wakaf) sehingga tidak ada khiyar majelis dan juga khiyar syarat. [26]
b. Hak milik berpindah kepada Allah. Barang itu bukan lagi menjadi milik pewakaf (وَاقِفٌ) maupun orang yang diberi wakaf (مَوْقُوْفٌ عَلَيْه), sehingga tidak berhak menggunakannya dengan jalan kepemilikan baik menjual, hibah,[27] dan lain sebeagainya.
c. Berpindahnya hak manfaat barang wakaf kepada objek yang dikehendaki, baik untuk kalangan umum (عامة) ataupun kalangan tertentu (خاصة).[28]
d. Manfaat barang yang diwakafkan dapat dimiliki penerima wakaf bilamana si penerima wakaf dari kalangan tertentu (خاصة). Ia juga bisa menikmati hasilnya baik berupa buah, susu dan lain sebagainya. Sementara jika penerima wakaf dari kalangan umum (عامة) maka mereka tidak memiliki manfaat barang yang diwakafkan, tapi mendapatkan hasil dari wakaf tersebut.
2. Dana perawatan barang wakaf
Apabila barang wakaf membutuhkan perawatan seperti makan hewan dan perbaikan gedung, maka biayanya bisa dari harta pewakaf atau dari barang yang diwakafkan. Apabila pewakaf tidak mensyaratkan apa pun, maka dana tersebut diambil dari hasil atau pemasukan wakaf. Jika tidak menghasilkan maka dana perawatannya diambil dari baitul mal kaum muslimin.[29]
3. Hukum terkait kerusakan barang wakaf
a. Jika yang diwakafkan adalah hewan yang tidak boleh dimakan, lalu hewan itu mati, maka kulitnya diberikan kepada penerima wakaf, jika kulitnya disamak[30] maka statusnya kembali menjadi barang wakaf yang dapat dimanfaatkan dan tidak boleh menjualnya untuk menjaga tujuan pewakaf.
b. Manakala benda yang diwakafkan berupa hewan yang bisa dimakan dan orang yang menerima wakaf memastikan bahwa hewan itu akan mati karena sesuatu yang menimpanya, maka penerima wakaf boleh menyembelih dan menjual dagingnya untuk membeli hewan sejenisnya dan menjadikannya sebagai pengganti hewan wakaf yang telah disembelihnya.
c. Apabila barang yang diwakafkan itu dirusak, maka kerusakannya ditanggung oleh orang yang merusaknya. Misalnya ada seseorang merusak barang wakaf karena sengaja, maka penerima wakaf tidak boleh memiliki uang dari hasil benda wakaf yang telah dirusakkan tadi. Akan tetapi, uang itu dibelikan barang yang sama dengan barang wakaf itu guna dijadikan kembali barang wakaf. Hal itu dilakukan untuk menjaga tujuan pewakaf (waqif) untuk tetap mendapatkan pahala, dan hak yang kedua dan setelahnya tergantung pada hal tersebut. Sehingga, jika sulit menjual barang wakaf secara keseluruhan, maka dijual sebagian karena hal itu lebih mendekati pada maksud pewakaf. Apabila menjual sebagiannya juga sulit, maka barang yang diwakafkan tersebut dikembalikan kepada kerabat pewakaf. [31]
d. Sementara jika rusaknya barang wakaf tanpa ada yang menganggungnya atau rusak dengan sendirinya, maka wakaf selesai dengan hilangnya barang yang diwakafkan. Manakala manfaat barang wakaf sudah tidak ada, yang sebabnya bukan ulah manusia (misalnya: mewakafkan sebuah pohon kemudian kering atau tercerabut karena di terpa angin atau banjir, dan tidak mungkin mengembalikan ke tempatnya sebelum kering), maka wakaf tidak terputus, tetapi masih berupa barang yang diwakafkan yang batangnya bisa dimanfaatkan dengan menyewakan atau yang lainnya, untuk mengabadikan sebagai benda wakaf dan tidak boleh dijual atau dihadiahkan. Apabila barang yang diwakafkan itu tidak bisa dimanfaatkan terkecuali dengan merusaknya (seperti membakar atau cara lainnya), maka si penerima wakaf diperkenankan membakarnya. Hanya saja, dia tidak boleh menjual dan memberikannya kepada orang lain.
e. Apabila barang yang diwakafkan berupa pagar masjid dan semisalnya kemudina rusak, atau berupa batang kayu kemudian rapuh dan tidak layak digunakan kecuali untuk dibakar, maka boleh menjualnya agar tidak sia-sia, atau supaya tidak menghabiskan tempat tanpa ada manfaat. Lebih baik mendapatkan sedikit hasil dari barang wakaf yang dijual daripada menyia-nyiakannya. Dengan demikian, uangnya dialokasinya untuk kemashlahatan masjid dan lebih diutamakan untuk membeli barang yang sama sebagai ganti barang yang diwakafkan yang telah dijual tadi, jika dimungkinkan. Adapun jika barang yang diwakafkan itu masih layak digunakan, maka tidak boleh dijual, untuk menjaga bentuk benda wakaf dan tujuan pemberi wakaf.
f. Bilamana ada masjid runtuh dan sulit membangunnya kembali, maka tidak boleh langsung menjualnya karena masih mungkin digunakan di lain waktu. Apabila masjid mempunyai pemasukan, maka digunakan untuk kemashlahatan masjid. Jika kita memastikan akan melakukan pembangunan lagi, maka pemasukan itu disimpan. Akan tetapi, jika tidak mungkin, maka diperbolehkan menggunakan pendapatan itu untuk masjid yang lebih dekat dari masjid tadi.
g. Apabila khawatir terhadap runtuhnya suatu masjid, maka hakim dibolehkan memutuskan untuk membangun masjid lain dengan menggunakan batu masjid yang diwakafkan tadi. Material masjid tersebut tidak diperbolehkan untuk membangun bangun lain (di luar masjid), demi menjaga tujuan pewakaf. Adapun membangun dekat dengan masjid yang telah hancur tadi, langkah ini lebih baik.
h. Jika ada orang yang mewakafkan hartanya untuk jembatan yng terbentang di atas jurang dan kemudia jurang itu rusak sehingga jembatannya tidak bisa dipakai, maka bila orang-orang membutuhkan jembatan lain, boleh memindahkannya pada tempat yang dibutuhkan tersebut. Hal ini diperbolehkan untuk menetapkan tujuan pewakaf.
4. Meninggalnya pihak penerima wakaf
Ketika pihak penerima wakaf meninggal, maka apabila orang yang wakaf (waqif) telah menetapkan orang lain (selain orang yang telah meninggal tadi), maka barang wakaf itu berpindah kepada orang yang telah ditetapkan tersebut setelah meninggalnya penerima wakaf yang pertama. Misalnya perkataan waqif: ‘Aku wakafkan rumah ini kepada anakku, kemudian kepada orang-orang fakir.’ Jika si waqif tidak menetapkan penerima lain, maka barang berpindah kepadanya dan tetap menjadi barang wakaf dan diberikan kepada kerabat-kerabat waqif di hari kematian pihak penerima wakaf yang pertama.
Apabila waqif mewakafkan kepada dua orang kemudian kepada orang-orang fakir, maka barang wakaf itu berpindah kepada yang lainnya jika salah satu dari mereka meninggal. Misalnya ucapan waqif, ‘Aku wakafkan tanahku kepada Zaid dan Umar kemudian kepada orang-orang fakir.’
Ketika waqif mewakafkan kepada dua orang dan dia membedakan dengan ucapannya, ‘Aku wakafkan sebagian rumah ini kepada dua orang, yang masing-masing mendapatkan separuh separuh, kemudian kepada orang fakir,’ maka hal ini merupakan dua yang diwakafkan. Sehingga setiap bagian mereka tidak bisa berpindah kepada yang lainnya, namun berpindah kepada orang fakir.
Latihan Kegiatan Belajar
Untuk meningkatkan penguasaan anda terhadap materi-materi pada modul bab III ini, kerjakanlah tugas-tugas sebagai berikut:
5. Sebutkan rukun wakaf!
6. Jelaskan syarat-syarat pemberi wakaf!
7. Jelaskan syarat-syarat barang yang diwakafkan!
8. Jelaskan syarat-syarat penerima wakaf!
9. Bedakan lafadz untuk orang tertentu atau yang tidak tertentu!
Petunjuk Jawaban Latihan
5. Coba Anda lihat kembali materi yang berkaiatan dengan rukun wakaf.
6. Silahkan Anda pelajari kembali tentang syarat-syarat pemberi wakaf.
7. Silahkan Anda pelajari kembali tentang syarat-barang yang diwakafkan.
8. Silahkan Anda pelajari kembali tentang syarat-syarat penerima wakaf.
9. Diskusikan dengan teman dan tutor Anda.
Rangkuman
Berdasarkan uraian modul di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan berikut :
5. Rukun wakaf ada empat yaitu pemberi wakaf, yang diwakafkan, yang diberi wakaf, pernyataan pemberian wakaf dan penerimaannya.
6. Syarat pemberi wakaf ada tiga yaitu kehendak sendiri, mampu bederma, dan pernyataannya sah.
7. Syarat barang yang diwakafkan yaitu barang yang diwakafkan harus jelas, barang milik waqif yang berguna dan bisa dimanfaatkan, barang harus awet dan tahan lama, manfaat barang mubah bukan haram.
8. Syarat penerima wakaf yaitu untuk ibadah bukan untuk maksiat dan harus dinyatakan sesecara tegas kepada siapa ditujukan pada saat ikrar wakaf.
9. Shigat adalah lafadz yang mengisyaratkan tujuan atau dengan sesuatu yang bisa menggantikan lafadz seperti isyarat atau tulisan bagi tunawicara. Kalau mewakafkan kepada orang tertentu (مُعَيَّن), hendaklah ada kabul (jawab), tetapi wakaf orang yang tidak tertentu (غَيْر مُعَيَّن) atau umum maka tidak disyaratkan kabul (jawab).
10. Syarat menjadi pengelola zakat adalah adil dan mampu.
BAB IV
FATWA – FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG WAKAF
Kompetensi Mata Pelatihan : Menjelaskan kembali fiqh wakaf dan fatwa MUI tentang wakaf |
Indikator Pencapaian Kompetensi : Menjelaskan fatwa MUI tentang wakaf |
A. fatwa tentang wakaf uang
- Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
- Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
- Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
- Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh).
- Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Landasan fatwa ini sebagai berikut :
Pertama, bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain adalah yakni menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada, (al-Ramli, Nihayah al-Muhroj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1984], juz V, h. 357, Al Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhraj, Beirut [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h.376).
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam” (kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4), sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka bukan wakaf uang ( waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah.
Kedua, bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain.
Ketiga, bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menerapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Dasar dalilnya di antaranya.
Pertama, Firman Allah Swt.:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menfkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran : 92).
Kedua. Firman Allah Swt.:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَة مِّاْئَةُ حَبَّة وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261).
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّا وَلَآ أَذى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
“Orang orang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tiada menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 262).
Adapun dalil Hadits Nabi Saw.
Pertama, Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud).
”Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar bin al-Khaththab ra memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, ” Wahai Rasulullah ! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya ?” Nabi Saw. menjawab : “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.”
Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata, “Saya menceritakan hadits tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu berkata ‘ghaira muta’tsilin makan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik).” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra ; ia berkata, Umar ra berkata kepada Nabi Saw., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (HR. al-Nasa’i).
Selain itu, Jabir ra berkata: “Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf.” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h.157; al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Be irut: Dar al-Fikr, t.th] , juz II, h. 376).
B. Fatwa tentang wakaf manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah
Pertama:
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan/atau di-istitsmar-kan tanpa lenyap bendanya, dengan tidak menjual, menghibahkan, dan/atau mewariskannya, dan hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah kepada penerima manfaat wakaf yang ada.
2. Manfaat Asuransi adalah sejumlah dana yang bersumber dari Dana Tabarru' yang diserahkan kepada pihak yang mengalami musibah atau pihak yang ditunjuk untuk menerimanya.
3. Manfaat Investasi adalah sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta program asuransi yang berasal dari kontribusi investasi peserta dan hasil investasinya.
Kedua:
Ketentuan Hukum
1. Pada prinsipnya Manfaat Asuransi dimaksudkan untuk melakukan mitigasi risiko peserta atau pihak yang ditunjuk.
2. Mewakatkan Manfaat Asuransi dan Manfaat lnvestasi pada asuransi jiwa syariah hukumnya boleh dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini.
Ketiga: Ketentuan Khusus
1. Ketentuan Wakaf Manfaat Asuransi
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi menyatakan janji yang mengikat (wa'd mulzim) untuk mewakatkan manfaat asuransi;
b. Manfaat asuransi yang boleh diwakatkan paling banyak 45% dari total manfaat asuransi;
c. Semua calon penerima manfaat asuransi yang ditunjuk atau penggantinya menyatakan persetujuan dan kesepakatannya; dan
d. lkrar wakaf dilaksanakan setelah manfaat asuransi secara prinsip sudah menjadi hak pihak yang ditunjuk atau penggantinya.
2. Ketentuan Wakaf Manfaat Investasi
a. Manfaat investasi boleh diwakatkan oleh peserta asuransi;
b. Kadar jumlah manfaat investasi yang boleh diwakatkan paling banyak sepertiga (113) dari total kekayaan dan/atau tirkah, kecuali disepakati lain oleh semua ahli waris.
3. Ketentuan Ujrah terkait dengan produk wakaf
a. Ujrah tahun pertama paling banyak 45% dari kontribusi reguler;
b. Akumulasi ujrah tahun berikutnya paling banyak 50% dari kontribusi reguler.
Keempat:
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Fatwa fatwa ini berlandaskan pada :
1. Firman Allah SWT
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
"Hai orang yang beriman, Penuhilah akad-akad itu" (Q.S. AI-Maidah :1)
إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡؤولا
"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya" Q.S. al-Isra' : 34
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيم
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya " (Q.S Ali Imran (3): 92)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu" (Q.S.AI-Baqarah : 267)
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". (Q.S. Al-Maidah : 2).
2. Hadis Nabi SAW:
a. "Diriwayatkan dari Ibn Umar ra, ia berkata: Umar ra berkata kepada Nabi saw., 'saya mempunyai seratus bagian (tanah/kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang paling saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya. ' Nabi saw. berkata: 'tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah '." (HR. Al-Nasa'i)
b. Dari Ibnu Umar RA, bahwa Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan tanah itu dan engkau sedekahkan. Berkata Ibnu Umar; 'Kemudian Umar mensedekahkan tanah tersebut, (disertai persyaratan) tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak juga dihibahkan. selanjutnya Umar menyedekahkannya kepada orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR. Imam al-Bukhari)
c. "Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: 'Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim).
d. "Dari 'Amr bin 'Auf al-Muzanni, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. " (HR. Imam al-Tirrnidzi)
3. Kaidah Fikih :
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. "
C. Fatwa tentang status tanah yang di atasnya ada bangunan masjid
Pertama :
Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Masjid ialah masjid jami’ yakni sebuah bangunan khusus di atas sebidang tanah yang diwakafkan untuk tempat shalat kaum muslimin.
2. Tanah masjid ialah tanah yang di atasnya ada bangunan masjid.
Kedua :
Ketentuan Hukum :
1. Status tanah yang di atasnya ada bangunan masjid adalah wakaf. Adapun yang belum berstatus wakaf wajib diusahakan untuk disertifikasikan sebagai wakaf.
2. Tanah wakaf tidak boleh ditukar, diubah peruntukannya, dijual, dan dialihfungsikan kecuali dengan syarat-syarat tertentu, yang disebut dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia tahun 2009, yaitu:
a. Penukaran benda wakaf (istibdal al-waqf) diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemashalahatan karena untuk mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf (istimrar baqai al-manfa'ah), dan dilakukan dengan ganti yang mempunyai nilai sepadan atau lebih baik.
b. Pengubahan objek wakaf dari wakaf uang menjadi wakaf benda, atau sebaliknya dari wakaf benda menjadi wakaf uang hukumnya boleh, dengan syarat:
i. manfaatnya lebih besar
ii. keadaan memaksa untuk itu.
c. Benda wakaf boleh dijual, dengan ketentuan:
i. adanya hajah dalam rangka menjaga maksud wakif;
ii. hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti.
iii. kemanfaatan wakaf pengganti tersebut minimal sepadan dengan benda wakaf sebelumnya.
d. Alih fungsi benda wakaf dibolehkan sepanjang kemashlahatannya lebih dominan.
e. Pelaksanaan ketentuan huruf (a) sampai dengan huruf (d) harus seizin Menteri Agama, persetujuan Badan Wakaf Indonesia, serta sesuai dengan peraturan perundangundangan dan pertimbangan MUI.
Ketiga :
Rekomendasi
1. Pemerintah diminta memberikan perhatian khusus terhadap status tanah yang berdiri di atasnya masjid dan membantu kemudahan sertisikasi wakafnya, dengan manjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
2. Pemerintah dan Badan Wakaf Indonesia harus memberikan kemudahan terhadap proses sertifikasi wakaf atas tanah yang digunakan sebagai masjid. Biaya sertifikasi tanah wakaf ditanggung oleh Negara melalui kementrian agama.
3. Pemerintah dan Badan Wakaf Indonesia secara proaktif melakukan pendataan dan melakukan sertifikasi wakaf terhadap seluruh tanah bangunan masjid yang ada di Indonesia agar tidak beralih fungsi.
4. Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus melakukan verfikasi terhadap permohonan sertifikasi tanah dan tidak mengeluarkan sertifikasi hak kepemilikan atau alih fungsi terhadap tanah yang digunakan sebagai masjid kecuali sertifikasi wakaf.
5. Pengurus masjid yang tanahnya yang secara formal belum berstatus wakaf harus diusahakan untuk disertifikasi wakaf sesegera mungkin untuk melakukan tertib administrasi dan mencegah terjadinya penyimpangan.
6. Umat Islam Indonesia memahami hukum fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan tentang wakaf, ulama, cendekiawan dan organisasi kemasyarakatan Islam lebih meningkatkan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang wakaf kepada masyarakat.
Keempat :
Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Fatwa ini berlandaskan pada:
1. Firman Allah SWT:
وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah Ta’ala”. (QS. Al-Jin: 18).
2. Hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
Artinya : Dari Ibnu Umar r. a. bahwa sesungguhnya Umar mendapatkan tanah di Khaibar, kemudian Umar berkata: Ya Rasullulah saw, aku telah mendapatkan tanah di Khaibar, dan aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga dari tanah tersebut, maka apakah yang Engkau perintahkan padaku? Kemudian Rasulullah saw bersabda: Jika engkau mau tahanlah asalnya dan sedekahkan (manfaatnya), maka Umar menyedekahkannya, untuk itu tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Sedekah tersebut diperuntukkan bagi orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan budak, untuk menjamu tamu dan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Tidak mengapa orang yang menguasainya (nazhirnya) makan sebagian dari padanya dengan baik dan memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat tidak dijadikan sebagai hak milik (HR. Jama’ah).
Anas bin Malik r.a. meriwayatkan bahwa : “Setelah Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau menyuruh membangun masjid. Rasulullah saw mengatakan : Hai Bani An-Najjar : Juallah kebun (tanah) kalian ini dengan menentukan harganya? Bani Najjar menjawab : Tidak, demi Allah, kami tidak menjualnya kecuali (kami hanya mengharapkan) pahala dari Allah (dengan mewakafkannya). Kemudian Rasulullah saw menyuruh menggali kuburan orang-orang musyrik dan bekas bangunan di tanah tersebut, untuk meratakan tanahnya. Mereka letakkan pohon kurma sebagai tanda arah kiblat masjid” (HR. Al-Bukhari).
Memperhatikan :
Pendapat para ulama, antara lain ;
1. Pendapat al-Imam Abi al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi, dalam kitab Kanz Al-Daqaiq (5/258).
2. Pendapat al-Imam Zainuddin Ibnu Nujaim, dalam kitab al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq: Maksud dari perlunya melepaskan kepemilikan masjid (dengan mewakafkannya), karena tidak ada cara untuk menjadikan masjid hanya untuk Allah Ta’ala selain dengan cara itu. Sedangkan maksud dari perlunya melakukan shalat di masjid tersebut karena wakaf, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, harus diserahkan kepada mauquf ‘alaihi (pihak yang diberi wakaf/umat Islam), yaitu dengan melakukan shalat di masjid tersebut.
3. Pendapat Imam Malik dalam kitab Al-Mudawwanat (4/259) : Saya (Sahnun) bertanya (kepada Ibnu Qosim) : “Apakah orang yang membangun masjid di rumahnya atau membangunnya di luar rumahnya, tetapi di tanahnya, bukan di rumahnya, boleh menjual masjid yang dibangunnya tersebut. Ibnu Qosim mengatakan : Imam Malik mengatakan : “Orang tersebut tidak boleh menjual masjid yang dibangunnya tersebut, karena - menurut hemat saya – masjid adalah habs/wakaf”.
4. Pendapat Al-Ramly dalam kitab Nihayah al-Muhtaaj ila Syarhi al-Minhaj (5/394): Dalam pelajaran tentang wakaf, timbul pertanyaan tentang apa yang dapat dilakukan terhadap pohon-pohon yang sudah mati di halaman masjid dan tidak diketahui dengan jelas statusnya apakah wakaf atau tidak ? Jawabnya ialah : menurut lahiriahnya, pohon yang ditanam di masjid adalah wakaf. Karena para Ulama ahli fiqh menjelaskan dalam pembahasan tentang ash-shulhu bahwa hukum penanaman pohon di masjid adalah boleh, jika tujuannya untuk kepentingan kaum muslimin secara umum. Jika tujuannya hanya untuk kepentingan penanamnya sendiri, hukumnya tidak boleh, meskipun pohonnya tidak mengganggu masjid.
5. Pendapat Abu Thahir, Al-Mutawally dan Al-Baghawi sebagaimana disampaikan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab Raudhah Al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftiin (5/387) : Al-Ustadz Abu Thohir, Al-Mutuwally, dan Al-Baghowy, menetapkan bahwa bunyi ikrar wakaf masjid seperti tersebut tidak membuat tempat atau bangunan tersebut menjadi masjid. Karena ikrar tersebut tidak mengandung kata (pemberian) wakaf. Al-Ustadz Abu Thohir, mengatakan : “Kalau pemberi wakaf masjid tersebut menyebutkan dalam ikrar wakafnya sbb. : “Saya jadikan tempat ini masjid karena Allah Ta’ala”, maka tempat yang diwakafkannya tersebut menjadi masjid.
6. Pendapat al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj (91/10) : “ketentuan (syarat wakaf harus terhadap objek yang dimiliki), dikecualikan wakafnya imam (pemerintah) terhadap obyek tanah baitul mal (tanah negara), sesungguhnya wakaf seperti itu sah, sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi Husain”
7. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam kitab Fath Al-Baariy (2/377) : Masjid yang telah dikumandangkan di dalamnya adzan, dilakukan padanya shalat, dan orang-orang telah melakukan shalat secara berjamaah padanya, telah memiliki status masjid wakaf. Dengan statusnya sebagai masjid, ia lepas dari hak milik pemiliknya. Demikian menurut Ahmad bin Hanbal dan ulama secara umum, meskipun orang yang membangunnya tidak berniat menjadikannya masjid selama-lamanya.
BAB V
EVALUASI PEMBELAJARAN
A. Pilihan Ganda
Pilihlah jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!.
- Wakaf menurut bahasa adalah ....
a. menahan
b. memberikan
c. menghadiahkan
d. menitipkan
- Menurut madzhab Hanbali harta wakaf itu milik ....
a. Allah Swt
b. waqif
c. mauquf alaih.
d. faqir miskin
- Manfaat dari harta wakaf diperuntukkan untuk ....
a. jual beli
b. usaha pribadi
c. barang habis sekali pakai
d. kepentingan umum
- Harta wakaf bersifat ....
a. sekali pakai habis
b. tidak kekal dzatnya
c. kekal dzatnya
d. bisa dihibahkan
- Madzhab hanafi berpendapat bahwa wakaf itu ....
a. mubah
b. sunnah
c. wajib
d. sunnah muakkad
- Suatu perbuatan yang diberi pahala bagi pelakunya, tetapi tidak dijatuhi sanksi bagi yang meninggalkannya, di sebut ….
a. sunnah
b. mubah
c. wajib
d. sunnah muakkad
- Abu Thalhah termotivasi untuk mewakafkan kebunnya setelah mendengar ayat ….
a. QS Ali Imran: 92
b. QS. Ali Imran : 115
c. QS. Al-Baqarah : 261
d. QS. Al-Baqarah : 262
- Para ulama menafsirkan kata صَدَقَة جَارِيَة dengan ….
a. hibah
b. qurban
c. wakaf
d. hadiah
- Umar bin Khaththab mewakafkan tanahnya di daerah ….
a. Khaibar
b. Quraidhah
c. Thaif
d. Mekkah
- Imam Syafi’i menyatakan bahwa ada … shahabat Anshar yang berwakaf.
a. 60
b. 70
c. 80
d. 90
- Rukun wakaf ada ….
a. 3
b. 4
c. 5
d. 6
- Muflis adalah orang yang ….
a. bodoh
b. pailit
c. botak
d. tidak mampu
- Orang yang sakit parah tidak boleh berwakaf lebih dari ....
a. sepertiga
b. setengah
c. seperenam
d. seperdelapan
- Wakaf orang kafir menurut ulama Syafi’iyah ....
a. sah
b. tidak sah
c. ditolak
d. haram
- Barang yang diwakafkan harus merupakan milik ....
a. waqif
b. mauquf
c. mauquf alaih
d. shigah
- Tidak sah mewakafkan makanan karena ....
a. tidak dapat diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya
b. bisa tercampur makanan haram
c. tidak jelas barangnya
d. sulit menentukan objek wakafnya
- Sah mewakafkan hewan yang masih kecil karena ....
a. jelas bendanya
b. milik waqif
c. hewan itu masih bisa dimanfaatkan kemudian hari
d. bisa diwariskan
- harta campuran (المُشَاعُ) yaitu harta yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang tidak bisa dibedakan satu sama lainnya, ... bila diwakafkan.
a. sah
b. tidak sah
c. haram
d. makruh
- diperbolehkan mewakafkan benda yang tidak bergerak, seperti ...
a. buku
b. pakaian
c. tikar
d. mata air
- “Siapa menyiapkan seekor kuda di jalan Allah karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makannya, minumnya, kotorannya dan kencingnya menjadi ... orang tersebut pada hari kiamat." (HR.Bukhari & Nasa’i)
a. timbangan amal
b. penebus doa
c. kuda tunggangan
d. penyelamat
- harta yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang tidak bisa dibedakan satu sama lainnya, disebut ....
a. harta musya’
b. harta gono gini
c. harta haram
d. harta wakaf
- Contoh wakaf kepada orang yang tidak tertentu (غَيْر مُعَيَّن) adalah ...
a. kaum fakir
b. anak
c. keluarga
d. semua salah
- Tidak sah wakaf kepada orang-orang dibawah ini kecuali ...
a. keluarga
b. mayat
c. budak
d. anak yang masih dalam kandungan
- Wakaf kepada non-Muslim diperbolehkan oleh ulama madzhab Syafi’iyah kepada kafir ....
a. dzimmi
b. harbi
c. murtad
d. salah semua
- Nama sumur milik yahudi Madinah yang akhirnya dijual kepada Utsman bin Affan adalah sumur ....
a. Khaibar
b. Zamzam
c. Bi’ir ‘Ali
d. Ruumah
- Rasulullah Saw bersabda: “Shadaqah pada orang miskin mendapatkan pahala shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala, yakni pahala shadaqah dan pahala ....”
a. menyambung tali persaudaraan
b. wakaf
c. shalat
d. sabar
- Wakaf termasuk ....
a. aqdun laazimun (عَقْدٌ لَازِمٌ)
b. aqdun jaaizun (عَقْدٌ جَائِزٌ)
c. akad yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan.
d. akad jual beli
- Syarat menjadi pengelola wakaf adalah ....
a. laki-laki
b. adil
c. merdeka
d. badan usaha
- Pengelola wakaf ... mendapatkan gaji.
a. boleh
b. haram
c. makruh
d. tidak boleh
- Pengelola wakaf mengaku bahwa hasil wakafnya telah diberikan kepada penerima wakaf, tetapi penerima wakaf mengingkarinya maka yang dibenarkan adalah pengakuan ....
a. penerima wakaf
b. pengelola wakaf
c. pewakaf
d. hakim
B. Essay
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan benar!
- Jelaskan pengertian wakaf!
- Tulislah firman Allah yang menjadi landasan hukum wakaf!
- Sebutkan rukun wakaf!
- Penerima wakaf ada dua kelompok, sebutkan!
- Apa syarat menjadi pengelola zakat, jelaskan!
Balikan Dan Tindak Lanjut
Cocokkan hacil jawaban Anda dengan kunci jawaban yang ada. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi ini.
Rumus:
Tingkat penguasaan = x 100 %
Arti tingkatan penguasaan Anda capai:
90 % -100 % = Baik Sekali
80 % - 89 % = Baik
70 % - 79 % = Cukup
< 69% = Kurang
Kalau anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, berarti Anda telah lulus mata pelatihan ini.
KUNCI JAWABAN EVALUASI PEMBELAJARAN
A. Pilihan Ganda
- a. menahan
2. c. mauquf alaih.
3. d. kepentingan umum
4. c. kekal dzatnya
5. a. mubah
6. a. sunnah
7. a. QS Ali Imran: 92
8. c. wakaf
- a. Khaibar
- c. 80
- b. 4
12. b. pailit
13. a. sepertiga
14. a. sah
15. a. waqif
16. a. tidak dapat diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya
17. c. hewan itu masih bisa dimanfaatkan kemudian hari
18. a. sah
19. d. mata air
20. a. timbangan amal
21. a. harta musya’
- a. kaum fakir
23. d. anak yang masih dalam kandungan
- a. dzimmi
25. d. Ruumah
26. a. menyambung tali persaudaraan
27. a. aqdun laazimun (عَقْدٌ لَازِمٌ)
- b. adil
29. a. boleh
- a. penerima wakaf
B. Essay
- Jelaskan pengertian wakaf!
Jawaban:
Wakaf ialah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
- Tulislah firman Allah yang menjadi landasan hukum wakaf!
Jawaban :
Firman Allah Swt :
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92).
- Sebutkan rukun wakaf!
Jawaban:
Rukun wakaf ada empat, yaitu: Pemberi wakaf (وَاقِفٌ), yang diwakafkan (مَوْقُوْفٌ), yang diberi wakaf (مَوْقُوْفٌ عَلَيْه) dan pernyataan pemberian wakaf dan penerimaannya (صِيْغَةٌ).
- Penerima wakaf ada dua kelompok, sebutkan!
Jawaban :
Penerima wakaf dibagi menjadi dua: 1) orang tertentu (مُعَيَّن) yang berjumlah satu atau lebih, 2) orang yang tidak tertentu (غَيْر مُعَيَّن), seperti wakaf kepada kaum fakir.
- Apa syarat menjadi pengelola zakat, jelaskan!
Jawaban :
Syarat menjadi pengelola wakaf sebagai berikut : a) Adil. Yakni konsisten ( اسْتِقَامَة) dalam menjalankan perintah-perintah agama. b) Mampu. Pengelola wakaf harus memiliki kemampuan untuk mengalokasikan barang wakaf kepada hal-hal yang positif dan mashlahat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3.
Asy-Syarbiny, Mughni AI-Muhtaj, Kairo : Musthafa Al-Halaby, Juz. 10.
Hasan Ahmad Muhammad al-Kaaf, at-Taqriraat as-sadidah, Trim Yaman: Daar al-Ilm wa al-Dakwah, 2003, cet. 1, hal. 395.
Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, Darul Fikr, Beirut, tt.
Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, Fiqih Manhaji, Damascus: Daar al-Qalam, 1992, juz 5, cet. ke-3.
Nazh Hammad, Mu’jam al-Musthalahat al-Iktishadiyah Fi Lughat al-Fuqaha, Riyadh: Ad-Dar al Alamiah Lilkitab al-Islami & III, cet. 3, 1995.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 3, Beirut: Darul Kutub, tt.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2019
Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al Akhyar, Juz 1, Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, tt.
Wahbah Az-Zuhali, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al Fikri Al Mu’ashir, juz 10.
[1] Wahbah Az-Zuhali, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al Fikri Al Mu’ashir, Juz. 10, hal. 7599.
[3] Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, hal. 186.
[4] Nazh Hammad, Mu’jam al-Musthalahat al-Iktishadiyah Fi Lughat al-Fuqaha, Riyadh: Ad-Dar al Alamiah Lilkitab al-Islami & III, Cet. 3, 1995, hal. 353
[5] Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al Akhyar, Juz 1, Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, t.th, hal. 319
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 3, Beirut: Darul Kutub, t.th., hal. 378.
[7] Nazh Hammad, Mu’jam al-Musthalahat al-Iktishadiyah Fi Lughat al-Fuqaha, Riyadh: Ad-Dar al-Alamiah Lilkitab al-Islami & IIIT, Cet. 3, 1995, hal. 353
[9] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2019, hal. 341.
[10] Mushtafa al-Bugha, Musthafa al-Khann, & Ali Asy-Syurbaji, al-Fiqh al-Manhaji, juz 5, hal. 11.
[11] Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, Fiqih Manhaji, Damascus: Daar al-Qalam, 1992, cet. Ke-3, hal. 15.
[12] Karena ‘benda’ merupakan ‘pokok’ sedangkan ‘manfaat’ hanyalah ‘cabang’. ‘cabang’ akan selalu mengikuti ‘pokok’. Selama ‘pokok’ menjadi hak milik pemberi wakaf (waqif), maka ‘manfaat’ barang tersebut akan terus menjadi hak miliknya maka hal itu menjadi tidak dibenarkan. Misalnya, orang mewakafkan akses wifi di salah satu tempat, maka hukumnya tidak sah karena hanya unsur manfaatnya saja yang diwakafkan, bukan bendanya. Berbeda jika yang diwakafkan alat pemancar wifi-nya, maka sah sebab hal itu masuk kategori benda fisik yang konkret.
[13] Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, Darul Fikr, Beirut, tt, hal. 268.
[14] Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, op.cit., hal. 16
[15] Harta wakaf dapat pula berupa uang modal, misalnya saham pada perusahaan, dan berupa apa saja. Yang terpenting dari pada harta yang berupa modal ialah dapat dikelola dengan sedemikian rupa sehingga mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan.
[16] Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, op.cit., hal. 17
[17] Kafir Dzimmi yakni orang kafir yang tinggal di Negeri Muslim, memiliki perjanjian (damai) dengan kaum Muslimin, membayar pajak (jizyah/ uang keamanan/ upeti sebagai kompensasi pemerintah Islam terhadap harta dan darahnya/ jiwanya. Ketika mereka tidak mampu membayar jizyah, maka jizyah tersebut dapat digugurkan darinya) kepada pemerintah Islam dan ditegakkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Sementara itu kaum muslimin juga dikenakan kewajiban membayar zakat.
[18] Kafir Mu’ahad yakni orang yang memiliki perjanjian (terikat perjanjian damai, perjanjian dagang atau selainnya) dengan kaum Muslimin yang berada atau bertugas di negeri kaum Muslimin tidak boleh disakiti, selama mereka menjalankan kewajiban dan perjanjiannya.
[19] Kafir Musta’min yakni orang yang datang dari Negara kafir, baik utusan, pedagang, atau selainnya yang memiliki jaminan keamanan dari Penguasa/ Umara’ atau seorang Muslim.
[20] Kafir Harbi yakni orang kafir yang memerangi kaum Muslimin dan halal darahnya untuk ditumpahkan (dibunuh/ diperangi). Mereka adalah orang kafir yang tidak memiliki jaminan keamanan dari kaum muslimin atau pemimpinnya, tidak dalam perjanjian damai, dan tidak membayar jizyah kepada kaum muslimin sebagai jaminan keamanan mereka, merekalah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk diperangi (lihat Q.S. Al-Baqarah (Sapi Betina) [2]: 190-191).
[21] Murtad berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang berarti kembali. Istilah murtad berarti keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.
[22] Maksud dari “kecuali dengan hak Islam” adalah : kecuali mereka melakukan pelanggaran pidana dan perdata dalam Islam sehingga mereka akan dihukum sebagai balasan atas perbuatannya (qishas). Adapun maksud dari “hisab mereka ada pada sisi Allah” adalah: hal-hal yang bersifat rahasia yang mereka sembunyikan dalam hati, maka dikembalikan kepada Allah Swt.
[23] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, h. 343.
[24] Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, op.cit., hal. 28
[25] Ibid.
[26] Macam-macam khiyar: 1. Khiyar majlis adalah meneruskan atau membatalkan jual beli ketika kedua belah pihak masih berada dalam tempat jual beli, 2. Khiyar syarat adalah meneruskan atau membatalkan jual beli dengan beberapa persyaratan, 3. Khiyar aibi adalah jika terdapat kerusakan dalam barang jualan si pembeli boleh membatalkan akadnya.
[27] Kata hibah berasal dari bahasa Arab الهِبَةُ yang berarti pemberian yang dilakukan seseorang saat masih hidup kepada orang lain secara sukarela (pemberian cuma-cuma), baik berupa harta atau lainnya (bukan harta).
[28] Mustafa Bugha, Mustafha al-Khin, Ali Syarji, op.cit, hal. 28
[29] Baitulmal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti "harta". Baitulmal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Baitulmal adalah suatu lembaga atau pihak (al-jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitulmal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
[30] Kulit bangkai bisa jadi suci dengan cara disamak, yakni kulit yang berasal dari hewan yang halal dimakan maupun yang tidak halal dimakan.
[31] Dalam mazhab Ahmad bin Hanbal, apabila manfaat wakaf tak dapat dipergunakan, wakaf itu boleh dijual, dan uangnya dibelikan pada gantinya. Begitu juga mengganti masjid atau mengubahnya. Juga memindahkan masjid satu kampung ke kampung yang lain , atau dijual, uang nya untuk mendirikan masjid di kampung yang lain kalau kampung yang lama tidak berkehendak lagi pada masjid, karena sudah roboh umpamanya hal demikian kalau dipandang sebagai kemaslahatan. Beliau mengambil alasan dengan perbuatan Umar bin Khattab yang telah mengganti masjid Kufah yang lama dengan masjid yang lama menjadi pasar. Kata Ibnu Taimiyah,”Sesungguhnya yang menjadi pokok di sini guna menjaga kemashlahatan. Allah menyuruh kita menjalankan kemashalatan dan mejauhkan kerusakan. Allah telah mengutus utusannya guna menyempurnakan kemashalatan dan menyelapkan segala kerusakan. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, h. 344.
Komentar
Posting Komentar