Menikah dalam Kondisi Hamil, ini Pandangan Empat Mazhab dan KHI
MENIKAH
merupakan perjalinan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diikat oleh
ijab dan kabul. Pernikahan merupakan sunah Rasulullah yang diikuti oleh
pengikutnya hingga saat ini.
Terjadinya akad
nikah dalam pernikahan juga merupakan penghalalan hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Namun, di kalangan masyarakat Indonesia ada yang melakukan hubungan
suami istri sebelum pernikahan yang mengakibatkan hamil sebelum menikah.
Diakui atau
tidak, banyak contoh di masyarakat maupun dunia artis dan influencer yang
menikah dalam kondisi hamil. Walau
ditutupi tapi kemudian diketahui khalayak ramai setelah perjalanan pernikahan
keduanya.
Lalu
bagaimanakah hukum menikah dalam kondisi hamil?
Perlu diketahui
bahwa menikah atau menjalankan ijab kabul dalam keadaan hamil adalah sah
pernikahannya. Dalam hal ini KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada
Kompilasi Hukum Islam atau disebut juga Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun
1991.
Mengenai
menikah dalam kondisi hamil ini dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil
ini Pasal 53 dan 54. Adapun isi dari Pasal tersebut adalah pada Pasal 53 ayat 1
menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Pada ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya. Pada ayat 3 yaitu dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.
Pasal 53 ini
cukup jelas menjawab pertanyaan di masyarakat umum yang menanyakan apakah perlu
menikah ulang ketika pernikahan dilangsungkan dalam keadaan hamil? Tentu
jawabannya adalah tidak perlu diulang dan pernikahannya sah.
Pemahaman
mengenai tidak sahnya pernikahan ketika hamil adalah berpedoman pada pertama,
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan
pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia
melahirkan kandungannya.
Kedua, Mazhab
Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi
yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain.
Hal ini
diqiyaskan (dianalogi) dengan, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon,
ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih
haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah
baik-baik maka menjadi halal”.
Tapi agar tidak
salah paham. Apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari
murka Tuhan? Tentu tidak. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab
ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah. Adapun jika melangsungkan
pernikahan, maka nikahnya tetap sah.
Pendapat yang
ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang
menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih
dahulu.
Pendapat yang
keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di
antaranya :
1. Pernikahan tetap sah , baik dengan
laki-laki yang menghamili atau tidak.
2. Pernikahan sah dengan syarat harus dengan
laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
3. Boleh nikah dengan orang lain asal sudah
melahirkan.
4. Boleh nikah asal sudah melewati masa haid
dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah
melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Adapun pada
Pasal 54 pada bab VIII ini berisi tentang pernikahan dalam keadaan ihram. Pada
ayat 1 yaitu selama seorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh
melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah.
Pada ayat 2 menjelaskan tentang apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram,
atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.
Ihram adalah
keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji dan atau
umrah. Dalam keadaan ini seorang dilarang untuk menikah ataupun menjadi wali
menurut Pasal 54 KHI.
Mengenai
jawaban menikah dalam kondisi hamil ini perlu disebarluaskan kepada masyarakat
Indonesia untuk memahami hukum permasalahan dalam kehidupan yang dekat sekali
atau sering kita jumpai ini. Perlu juga untuk diketahui oleh para dai, ustadz,
maupun kiai karena tidak sedikit para dai yang berceramah tidak memahami akan
adanya Pasal 53 KHI ini.
KHI ini juga
merupakan salah satu produk Fiqh Indonesia, karena merupakan serapan dari
berbagai kitab-kitab klasik yang ada dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Serta KHI juga dijadikan pedoman oleh para Hakim di Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan masalah talak, cerai, rujuk, waris, wakaf, harta bersama, dan
sebagainya.
Komentar
Posting Komentar