FIQIH KONTEMPORER
FIQIH KONTEMPORER
Istilah kata fiqh berasal
dari kata فقها -يفقه -فقه yang
berarti pemahaman mendalam (fahm daqiq) yang lebih banyak frekuensi
pemakaiannya dalam Alquran adalah perintah Tuhan kepada sebagian manusia. Kata
ini tercantum dalam 20 ayat, tetapi yang erat relevansinya dengan aktifitas
keilmuan umat Islam adalah Q.S. At-Taubah ayat 122 yang mengingatkan agar tidak
semua umat Islam pergi berperang; hendaknya ada sekelompok orang (nafar) dari
setiap komunitas (firqob) yang mempelajari dan memahami (li yatafaqqahu) ajaran
agama.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ
وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Dan tidak sepatutnya
orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan
agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali,
agar mereka dapat menjaga dirinya (At-Taubah ayat 122).
Pada setiap zaman
perkembangan istilah dan keilmuan fiqh, maka pada masa berikutnya pengertian
fiqh terikat pada pengertian terbatas, yakni:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang dengan ilmu itu
mengetahui hukum-hukum syara’ yang ‘amaliyah (praktis) yang diperoleh dari
dalil-dalil yang bersifat tafshili (terperinci)”.
Jadi
ilmu fiqh adalah ilmu yang mempelajari atau memahami syari’at dengan memusatkan
perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia yang
berkewajiban melaksanakan hukum Islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang paham tentang
ilmu fiqh disebut faqih atau fuqaha’. Artinya ahli atau para ahli hukum Islam.
Istilah kata “kontemporer”
yang diartikan “dewasa ini” atau “terkini”, yang terdapat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, maka fiqh kontemporer sejatinya dapat diartikan dengan
“perkembangan fiqh dewasa ini atau terkini”.
فقه النوازلوهو العلم الذي يبحث بالأحكام الشرعية للمسائل المستجدة على
حياة الناس، والتي قد لا يكون قد ورد فيها نص شرعي.
Pokok
bahasan atau pembidangan fiqh kontemporer bisa berwujud dalam banyak makna dan
istilah, misalnya ada istilah fiqh sosialnya K.H. Sahal Mahfudz,
Kontekstualisasi Hukum Islamnya Munawir Sadjzali, Fiqh Demokratis Hasan
al-Turabi, Fiqh Kemanusiaan, Fiqh Lintas Agama, dan yang akhir-akhir ini Fiqh
Nusantara. Kesemuanya menjadi lahan dan ruang lingkup pembahasan fiqh
kontemporer.
Faktor-Faktor Munculnya Isu
Fiqh Kontemporer
Ada bermacam-macam faktor
yang melatarbelakangi munculnya isu fiqh kontemporer, diantaranya ialah:
Pertama, arus modernisasi yang
meliputi hampir seluruh negara negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Mengakibatkan lahirnya perubahan-perubahan dalam perikehidupan umat
Islam, baik dari segi ideologi, politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Kedua, lahirnya kesadaran
terkini dikalangan ulama dan cendikiawan muslim kontemporer untuk merevisi
standar system hukum yang selama ini dikuasai oleh bangsa penjajah/asing yaitu
system hukum barat yang berada di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim.
Ketiga, masih stagnan (tetap)
nya pemikiran fiqh klasik (rivalnya kontemporer) terhadap pemahaman tekstual,
ad-hoc atau status quo dan parsial, sehingga kerangka sistematika, metodologis
pengkajian tidak komprehensif dan aktual/terkini, sekaligus kurang mampu
beradaptasi dengan dinamika yang ada.
Manfaat Mempelajari Fiqh Kontemporer
Berikut ini ada beberapa manfaat dalam mempelajari fiqh kontemporer,
yaitu:
1.
Mengikis
kesenjangan yang selama ini dialami oleh umat Islam antara fiqh pada tataran
teoritis dengan fakta sosial dilapangan secara praktis. Kesenjangan ini muncul
akibat periodisasi taqlid yang sekian lama melumpuhkan semangat dan keberanian intelektual
umat Islam. Kaum muslimin cenderung menjadikan referensi klasik secara mutlak
tanpa melihat perbedaan konteks dan waktu. Bahkan mereka cenderung meletakkan
pendapat- pendapat ulama itu pada posisi sejajar dengan nash-nash Alquran dan
Sunnah. Padahal kenyataan empiris dilapanganlah membuat umat Islam sadar bahwa
pentingnya melakukan konseptualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam terutama
terkait dengan fiqh kontemporer. Ini mutlak dilakukan, karena jika tidak, umat
Islam akan semakin termarginalkan dari fiqhnya sendiri dan kesenjangan itu akan
terbuka luas.
2.
Tidak saja
mengetahui dan menjelaskan status hukum dari persoalan-persoalan baru, namun
yang lebih penting dari itu ialah membawa kita flashback kembali terhadap
pemahaman pendapat-pendapat ulama terdahulu dan menyikapi hasil ijtihad-ijtihad
mereka dengan sikap ilmiah: Apakah diambil seadanya? Atau disikapi dengan
kritis dan dinamis guna menjawab tantangan zamannya dan dimasa yang akan
datang.
3.
Kajian-kajian
fiqh kontemporer dengan sendirinya akan memperkaya khazanah hukum Islam kita.
Termasuk juga kemungkinan mereformulasikan kembali metodologi kajian fiqh kontemporer
yang mapan. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan, kajian-kajian fiqh
kontemporer harus dapat menyadarkan kita dari kejumudan intelektual menuju
kesadaran di era yang baru akan kebangkitan kembali fiqh kontemporer.
Persoalan hukum Islam dalam hal ini
fiqh kontemporer dimasa yang akan datang lebih kompleks lagi bila dibandingkan
dengan masa sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh arus perkembangan zaman modern
berimplikasi terhadap persoalan hidup manusia dengan alam lingkungannya.
Kompleksitas dan dinamika persoalan
hidup manusia tersebut tentu memerlukan solusi jawaban yang didasari oleh
nilai-nilai agama. Disinilah letak pentingnya rumusan-rumusan metodologi fiqh
kontemporer yang ideal secara moral dan formal yang bertujuanuntuk menjaga
kemaslahatan dan keutuhan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kesemestaan
menuju kearah yang benar bagikehidupan manusia dan alam sekitarnya. Untuk
sampai kepada tujuan ini, dibutuhkan semangathistorisme dan empirisme dalam
melakukan kajian-kajian terhadapbangunan khazanah hukum Islam dalam fiqh
kontemporer. Cita-citaini akan terwujud jika kita semangat dan berani meninjau Kembali
historis (sejarah) mereka dimasa lalu dan mengkaji sumber-sumberIslam itu untuk
menghadapi tantangan dan menjawab permasalahansekarang dan yang akan datang.
•
Fiqh menurut bahasa
adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun fiqh menurut istilah adalah
ilmu tentang hokum syara yang bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang
tafsili.
•
Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti sewaktu, semasa, pada waktu
atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa
fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam
hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi
hukum islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer.
•
Adapun yang melatarbelakangi
munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus modernisasi yang
meliputi hampir sebagian besar Negara-Negara yang dihuni oleh mayoritas umat
islam. Dengan adanya arus moderenisasi tersebut, mengakibatkan munculya
berbagai macam perubahan dalam tataan sosial umat islam, baik yang menyangkut
ideologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut
seakan-seakan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama.
•
Mengingat hukum islam
merupakan salah satu bagian ajaran agama yang terpenting, maka perlu ditegaskan
di sini aspek mana yang mengalami perubahan dalam kaitannya dengan hukum islam
tersebut. Karena agama dalam pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan
berubah, tetapi tentang pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam
hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang
selalu berubah.
•
Berdasarkan hal tersebut di
atas, bahwa perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual tetapi
secara kontekstual. Teks Al-Qur'an tentunya tidak mengalami perubahan, tetapai
pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman.
Karena perubahan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan
secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran Islam juga
harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian ia akan tetap relevan
dan aktual serta mampu menjawab tantangan modernitas.
•
Adapun mengenai kajian yang berkenaan dengan
Al-Qur'an dan hadits yang erat hubungnnya dengan fiqh kontemporer, antara lain
adalah masalahmetodologi pemahaman hukum islam (ushul fiqh), persoalan
histories dan sosiologis ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, kajian tentang
maqaashidut-tasyri (tujuan hukum), keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal
kemaslahatan umum, adat istiadat mayarakat yang berlaku, tentang teori nasakh
dan teori illat hukum, tentang ijma' dan lain-lain.
•
Kajian hukum fiqh kontemporer tidak terlepas dari
aspek material dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanent dalam hukum
islam (tasyri'iyyah) dan mana yang bersifat relatif (berubah) atau
ghairu-tasyri.
•
فقه
النوازل وهو
العلم الذي يبحث بالأحكام الشرعية للمسائل المستجدة على حياة الناس، والتي قد لا
يكون قد ورد فيها نص شرعي.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي
فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ
اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ
رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengutus Mu'adz ke Yaman,
lalu beliau bertanya: "Bagaimana engkau memutuskan hukum?" ia
menjawab; Aku memutuskan hukum dari apa yang terdapat di dalam kitabullah.
Beliau bertanya lagi: "Jika tidak ada di dalam kitabullah?" ia
menjawab; Dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau
bertanya: "Jika tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam?" Ia menjawab; Aku akan berijtihad dengan pendapatku.
Beliau mengatakan: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Faktor-faktor
paling penting yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara ahli fiqh Irak dan
ahli fiqh Hijaz dalam menetapkan hukum tersebut, ialah:
Hadits-hadits
Nabi Saw. dan fatwa-fatwa para sahabat tidak banyak terdapat di Irak, tetapi
kebanyakan ada di Hijaz. Penduduk Hijaz mempunyai perbendaharaan hadits yang
mereka jadikan pegangan dan pedoman dalam menetapkan hukum. Sedangkan ahli fiqh
Irak tidak mempunyai perbendaharaan hadits seperti ini, sehingga mereka dalam
menetapkan hukum itu menggunakan kekuatan akal pikiran, mereka berijtihad dalam
memahami tujuan nash dan sebab-sebab ditetapkannya hukum itu.
Irak merupakan
tempat berkembangnya usaha-usaha pemalsuan hadits-hadits, karena di sana tempat
basis masa Syi’ah dan Khawarij. Para ahli fiqh Irak sudah menyaksikan aksi
pemalsuan hadits, sedang ahli fiqh Hijaz tidak menyaksikannya. Oleh karena
itulah, para ahli fiqh Irak sangat ketat dan berhati-hati dalam menerima
riwayat-riwayat hadits, mereka hanya menerima hadits-hadits yang benar-benar
sudah populer di kalangan ahli fiqh saja. Kalau mereka mendapatkan suatu hadits
yang muatannya dipandang tidak relevan dengan hikmah atau tujuan penetapan
hukum dalam syari’at, maka mereka menta’wil hadits itu atau meninggalkannya.
•
Situasi kondisi di Irak berbeda dengan di Hijaz. Sistem
interaksi sosial, muammalah tradisi dan tata aturan yang ada di Irak merupakan
warisan dari kerajaan Persi yang pernah menguasai Irak masa lalu. Lapangan
arena ijtihad di Irak lebih luas dan diskursus pelbagai masalah lebih hidup dan
semarak. Jadi lebih cenderung menggunakan analisis rasional ketika menetapkan
hukum suatu persoalan. Sedang ahli fiqh Hijaz hanya menyesuaikan diri
sebagaimana apa yang pernah terjadi pada para pendahulu dan guru mereka dari
kalangan sahabat dan tabi’in, di mana situasi kondisi sosial masyarakatnya
bersifat homogen, satu macam, dan sedikit sekali terjadi pada mereka persoalan,
kesalahan baru yang ketetapan hukumnya tidak ada dalam hadist-hadits Nabi Saw.
dan fatwa-fatwa sahabat. Sedangkan para ahli fiqh Hijaz tidak menemui dan
merasakan arena dan lapangan ijtihad dan diskursus seperti yang ditemui dan
dirasakan oleh ulama-ulama Irak.
•
Oleh karena itulah, para ahli fiqh Hijaz dalam menetapkan
hukum, mereka memahami nash-nash al-Qur’an dan hadits itu secara lahirnya,
tanpa mengkaji illat-illatnya dan tidak mendalami tujuan-tujuan yang ingin
dicapai dalam penetapan hukum itu oleh syariat
Beberapa persamaan dan perbedaan diantara dua
aliran tersebut terutama ketika masa tabi’in, hal-hal tersebut sebagai berikut:
•
Bahwa kedua aliran tersebut menjadikan al-Qur’an dan
Hadits sebagai sumber hukum
•
Kedua aliran tersebut mempunyai penilaian yang hampir
sama tentang hadits, baik itu di tingkat suyukh (guru) atau pada adad
(jumlah).
•
Kedua aliran diatas sama-sama menggunakan ra’y
dalam mengistinbatkan hukum Islam dan menggabungkan segala pendapat, fatwa dan
qadha para sahabat serta menjadikan semua itu sebagai i’tibar atau penguatan
terhadap ketetapan hukum mereka.
•
Ra’y yang mereka
gunakan saat itu belumlah terbentuk suatu istilah khas sebagaimana yang terjadi
pada masa Imam Syafi’i. Ra’y bisa saja berbentuk qiyas, Istihsan,
Mashlahat Mursalah atau Urf dan lain-lain. Ibnu Qayyim menafsirkan ra’y
dengan apa-apa yang di lihat oleh hati mereka setelah melalui proses pergumulan
pemikiran dan taammul secara terus menerus dalam mencari kebenaran
dengan diiringi beberapa argumen dan tanda-tanda.
•
Lingkungan sekitar merupakan faktor penting yang
menentukan proses istinbat hukum Islam bagi kedua aliran tersebut. Kota Madinah
dengan adat istiadat yang Islami masih tetap terjaga dengan baik. Masih belum
terkontaminasi dengan adat istiadat asing. Dengan demikian, tidak terlalu
banyak perubahan-perubahan baru yang membutuhkan solusi hukum Islam. Hal ini
menjadikan fuqaha Madinah tidak terlalu sulit untuk memberikan fatwa sesuai
dengan ruh Islami. Tidak halnya yang terjadi di Irak, lingkungan yang varian terdiri
dari berbagai macam corak budaya dan perubahan-perubahan baru yang memerlukan
banyak solusi jawaban hukum Islam. Selain itu, di Irak marak sekali perdebatan
pemikiran yang memerlukan kemampuan dalam berdiskusi.
•
Setiap aliran membanggakan apa yang mereka peroleh dari
para sahabat dan guru-guru mereka.
•
Dari dua aliran tersebut ada diantara mereka yang menolak
memberikan fatwa jika tidak ditemukan hadits yang berkaitan dengan masalah yang
diutarakan. Sebagaimana terdapat pula dari masing-masing aliran yang sering
sekali mengeluarkan fatwa dan sering menggunakan akalnya dalam mentakhrij dan
mengqiyas.
• Kedua aliran terjadi perseteruan yang hebat
antara ulama yang sering dan sedikit mengeluarkan fatwa. Konflik itu wajar
terjadi pada diri manusia, dan hal demikian bukan hanya sekedar terjadi antara
ahli Madinah dan ahli Irak saja. Akan tetapi menyebar sampai ke Mesir. Pada
akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat diantara mereka bukan
hanya sekedar terjadi karena faktor masing-masing pengakuan mereka terhadap ra’y,
akan tetapi banyak faktor yang meruncingkan konflik diantara mereka bahkan
sampai ada yang kelewat batas dan terlalu berlebihan ketika berdebat dan saling
menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Hadits
Bukhari Nomor 3810
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ
الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ
بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
dari [Ibnu
'Umar radliallahu 'anhuma], ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda ketika perang al-Ahzab: "Janganlah seseorang melaksanakan shalat
'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Setelah berangkat,
sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara
sebagian yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai
di perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita
harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini
diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak
menyalahkan satu pihakpun."
Sunan Abi
Dawud no. 338, Sunan an-Nasa`i no. 433-434
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلاَنِ فِي سَفَرٍ
فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ. فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا
الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ فَذَكَرَا
ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ
صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ. رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ
Dari Abu
Sa’id al-Khudri—semoga Allah meridlainya— ia berkata: Dua orang
lelaki keluar dalam satu safar. Ketika datang waktu shalat dan tidak memiliki
air, mereka bertayammum dengan tanah yang bersih dan shalat. Kemudian—setelah
shalat—mereka menemukan air masih dalam waktu shalat itu. Salah seorang dari
mereka mengulangi shalat dan wudlunya, sedangkan yang satunya lagi tidak
mengulangi. Kemudian mereka menemui Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—dan
menceritakan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda kepada yang tidak
mengulangi shalat dan wudlu: “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu
cukup bagimu.” Dan beliau bersabda kepada yang satunya lagi: “Kamu
mendapatkan pahala dua kali.” Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkannya.
CERITA IMAM
MALIK DAN IMAM SYAFII
Imam Malik (
guru Imam Syafii ) dalam majlis menyampaikan :
"Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang
benar kepada Allah niscaya Allah akan meberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi
bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya."
Sementara Imam Syafii ( sang murid berpendapat lain) :
"Seandainya seekor burung tidak
keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki."
Guru
dan murid bersikukuh pada pada pendapatnya.
Suatu saat tengah meninggalkan pondok, Imam Syafii melihat serombongan orang
tengah memanen anggur. Diapun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam
Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafii girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah
menguatkan pendapatnya. Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan
mendapat rezeki.
"Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan
anggur."
Bergegas dia
menjumpai Imam Malik sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya,
dia bercerita.
Imam Syafii sedikit mengeraskan bagian kalimat
“seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen),
tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya.
Imam Malik berucap pelan.
“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok...hanya mengambil tugas sebagai
guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini
aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa
ikat anggur untukku. "Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang
tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan
berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang
mengurus lainnya.”
Guru dan murid itu kemudian tertawa. Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang
berbeda dari hadits yang sama.
Begitulah cara Ulama bila melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan
orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja..
Bunga Tabungan
•
Mahmud Syaltut, seorang cendikiawan dari Mesir
berpendapat bahwa sesungguhnya prinsip syari’at Islam dalam bidang muamalah
adalah terpenuhinya maslahah, terlindunginya aturan dan hak-hak serta
meningkatnya taraf hidup. Sebagai contoh ia menghalalkan bunga tabungan karena
dipandang memberikan kemashlahatan dan tidak menimbulkan kemudharatan, baik
yang menabung atau yang menerima tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan.
Didalamnya tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain
tidak ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh tabungan
adalah sebagai suatu daya tarik saja.
• Berdasarkan hal ini, Syaltut membolehkan bunga
tabungan itu berdasarkan ayat 220 dan 279 surat al-Baqarah. Dalam hal ini,
Muhammad Abduh berpendapat, bahwa haram ataupun halalnya bunga tadi bertitik
tolak pada: Allah
tidak mengharamkan sesuatu
kecuali karena mendatangkan mudharat pada dirinya, dan tidak
menghalalkan sesuatu, kecuali karena bermanfaat pada dirinya.
•
Pendapat Syaltut tersebut berbeda dengan kalangan ulama
Mesir saat itu yang menyatakan bahwa, keuntungan yang diberikan oleh Bank
adalah haram.
• Dalam argumen yang dikemukakan, ia menyatakan
bahwa uang yang dititipkan di Bank itu pada dasarnya merupakan penyertaan modal
pemilik uang untuk kelancaran pengelolaan bank. Pendapat Syaltut ini dapat
dijabarkan, bahwa terhimpunnya sejumlah modal daripada penabung itu dapat
dimanfaatkan untuk suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Bank
dapat diqiyaskan dengan aktivitas syirkah, dalam menghimpun modal usaha.
Lebih tepat lagi sebagai syirkah al-mudarabah, yaitu penabung uang
sebagai sahib al-mal dan pihak Bank sebagai mudarib (yang
menjalankan usaha) yaitu bertindak sebagai pemegang kepercayaan dari pemilik
modal.
NIKAH SIRI
DAMPAK NEGATIF MENIKAH SIRI
1. Pihak perempuan tidak bisa menuntut hak-hak-nya sebagai istri yang telah
dilanggar oleh suami karena tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap
legalitas perkawinan tersebut.
2. Kepentingan terkait pembuatan KTP, KK, paspor serta akta kelahiran
anak tidak dapat dilayani karena tidak adanya bukti pernikahan berupa akta
nikah/ buku nikah.
3. Nikah siri cenderung membuat salah satu pasangan, khususnya suami
lebih leluasa untuk meninggalkan kewajibannya.
4. Banyak perlakuan kekerasan terhadap istri
5. Dapat mempengaruhi psikologis istri dan anak.
6. Pelecehan seksual terhadap perempuan karena dianggap sebagai
pelampiasan nafsu sesaat bagi kaum laki-laki.
7. Akan ada banyak kasus poligami yang terjadi
8. Tidak adanya kejelasan status perempuan sebagai istri dan kejelasan
status anak di mata hukum atau masyarakat.
DAMPAK POSITIF
1. Mengurangi beban atau tanggung jawab seorang perempuan yang menjadi
tulang punggung keluarga.
2. Meminimalisasi adanya seks bebas serta berkembangnya penyakit AIDS
maupun penyakit lainnya.
3. Mampu menghindarkan seseorang dari hukum zina dalam agama.
ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA
•
sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari
seorang wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Untuk mendapatkan izin pengadilan tersebut, ada sejumlah syarat
yang harus dipenuhi, yakni: Ada persetujuan dari istri/istri-istri; Ada
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka; Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
•
Melakukan
poligami tanpa izin merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 279 Ayat 1 KUHP berbunyi, “(1) Diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun: Barang siapa mengadakan
perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya
yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; Barang siapa mengadakan
perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak
lain menjadi penghalang untuk itu. (2) Jika yang melakukan perbuatan
berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan
yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.”
Komentar
Posting Komentar